Jumat, 02 Desember 2011

(renungan) Saya Sering Membuat Ibu Menangis........

Ini adalah sebuah kisah,, sebuah cerita ,,, sebuah ungkapan dan curahan hati akan besarnya kasih sayang dari seorang ibu...
Kasih sayang yang tulus tanpa mengharap balasan apa-apa....

Ibu memang muara kasih, yang penuh cinta dan kasih sayang,, tapi tidak jarang kita sebagai seorang anak,, melupakan hal itu,,, kita bukan membuatnya bangga tetapi malah membuatnya menangis..... begitu juga yang pernah dan sangat sering saya lakukan....

Ini adalah kisah ku,,,, kisah penyesalan,, karna AKU SERING MEMBUAT IBU MENANGIS.....

aku adalah seorang anak ke terakhir dari empat bersaudara yang tinggal di sebuah kota kecil di Sumatera Selatan.... Aku rasa aku adalah anak yang paling beruntung karena mempunyai kedua orang tua yang sangat menyayangi ku.... terutama ibu....

Pada suatu waktu,,, saat itu ketika aku berumur 9 tahun, aku masih duduk di bangku kelas 3 SD... Hari itu (saya lupa hari apa tepatnya) aku pulang cepat dari sekolah karena guru rapat, dan aku pun langsung berencana untuk main dengan teman2 sepulang dari sekolah.. Ketika sampai dirumah,,, terlihat ibu berdiri di teras,, menunggu ku yang sudah terlihat dari kejauhan. Dia pun menyambutku , mengajak ku masuk dan mengganti pakaian ku,,, lalu menyuruh ku makan,, tapi aku langsung menolak karna aku ingin main dengan teman2 yang sudah menunggu ku. Ibu melarang, dan baru mengizinkan pergi setelah aku makan.. aku marah, lalu langsung lari keluar rumah,,, ibu mengejar ku sambil berteriak memanggil nama ku... aku terus berlari dan tidak memperdulikannya. ketika menyebrang jalan... tiba2 aku mendengar suara deritan rem mobil,, dan ada sebuah benda keras yang menghantam tubuh ku... lalu aku tidak tahu apa2 lagi....

ketika aku terbangun,, yang ku rasakan sekujur tubuh ku terasa sakit dan ngilu,,, dan ku lihat disamping ku,,, ibu sedang menangis,, dan tiba2 ia tersenyum saat melihat aku sadar..... lalu dia mencium ku dan menangis lagi.. lalu aku bertanya... "kenapa ibu menangis,,, apakah ibu marah kepada saya?" lalu ibu menjawab.. "tidak sayang,, ibu tidak marah marah, tapi ibu hanya sedih karena ibu tidak bisa menjaga kamu".... mendengar itupun aku diam...

Setelah kejadian itu, aku selalu berusaha untuk menuruti kata2 ibu,,, karna aku tidak mau membuat ibu menangis lagi..
Tapi suatu waktu, saat itu aku duduk di kelas 2 SMP....
karena pengaruh teman2, aku melakukan sebuah kesalahan yang amat besar. aku dan 3 orang temanku mengeroyok seorang siswa baru sampai dia babak belur dan masuk rumah sakit. Karena kejadian itu kepala sekolah memanggil ibu dan mengatakan kalau aku dikeluarkan dari sekolah,, tentu saja ibu berusaha dengan sekuat tenaga agar kepala sekolah bisa memberi keringanan. tapi kepala sekolah mengatakan itu adalah tuntutan dari orang tua siswa yang kami keroyok. Tapi ibu tidak menyerah, ibu memberanikan diri dan memprtaruhkan harga dirinya untuk memohon kepada orang tua siswa tersebut untuk mencabut tuntutannya. melihat kesungguhan ibu,, akhirnya tuntutan itu pun dicabut dan aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah kejadian itu,, ibu mengacuhkan aku, dia tidak pernah mau menyapa dan tidak lagi memperdulikan ku. Ke esokan harinya, ketika ayah pulang dari luar kota, ayah langsung murka setelah tau apa yang telah terjadi,, ayah menempeleng dan menghajarku sampai aku tidak bisa berbicara dan berdiri lagi..... ketika ayah ingin memberikan pukulan selanjutnya,,, tiba2 ibu berlari ke arah ku dan memelukku sambil menangis.... dia memohon kapada ayah untuk berhenti menghukumku.. lalu ayah pun pergi.
setelah ayah pergi, ibu menggendongku ke kamar,, diletakkannya aku di atas kasur dan obatinya lukaku,, aku hanya bisa meringis sambil menangis,, tapi tak bisa bersuara,,, terlihat olehku ibu juga menangis, deras sekali tangisannya dan dia juga tidak bersuara.... dia mengusap semua luka2 ku,,,, lalu dia menciumku.... terbata2 lalu aku berkata..."ibu,,, maafkan aku,,, ibu jangan menangis, apakah ibu marah pada ku?' lalu ibu menjawab... "tidak nak,, ibu menangis bukan karena ibu marah,, tapi karena ibu tidak bisa melindungimu"...
mendengar ibu berkata seperti itu,, aku menangis lebih kencang lalu memeluk ibu,,, dan dalam hati aku berjanji tak kan membuat ibu menangis lagi...

Waktu pun berganti,,
tak terasa aku sudah lulus SMA,,, dan dalam kurun waktu itu,,, aku sangat senang karena aku tak pernah membuat ibu menangis...
Tapi ketika tiba waktu aku harus pergi ke keluar kota untuk mencoba mengadu nasib... .
Aku berpamitan sebelum pergi,,, aku memeluk ayah,, kakak-kakak, dan terakhir ibu...
Kulihat ibu menangis,,, tapi terlihat sekali dia mencoba menahan tangisannya sehingga yang terdengar hanya desahan2 kecil yang semakin terdengar pilu...
Lalu aku memeluk ibu,, aku mencium nya dan mengusap air matanya... lalu aku bertanya.. "ibu, kenapa ibu menangis? apakah ibu tidak ingin aku pergi?"..
lalu ibu menjawab..."tidak nak,,, ibu menangis bukan karena ibu tidak ingin kau pergi,, tapi ibu menangis karna ibu tak tau kapan kau akan kembali"... ia menjawab sambil menangis,,, dan bagi ku itu adalah kesedihan ku.....
aku lalu menjawab.."ibu jangan khawatir,, aku akan segera kembali untuk ibu"... lalu aku pun melangkahkan kaki, naik ke bus sambil melambaikan tangan pada mereka,mereka juga melambaikan tangan, kecuali ibu yang hanya mematung dengan mata yang berurai air mata.. tak terasa air mataku jatuh,,, aku membayangkan ibu,,, pelukannya,, ciumannya,, dan kasih sayang nya,,,,yang pasti akan sangat aku rindukan......
IBU AKU AKAN KEMBALI untukmu.........

Tak terasa, setelah setahun bekerja diluar kota, aku akhirnya memutuskan untuk pulang, menemui keluarga,, dan pastinya Ibu yang sudah sangat aku rindukan....
ketika aku tiba,, terlihat mereka semua sudah menungguku di terminal... terlihat ayah, kakak, dan ibu disana.... aku melihat ibu.. dia semakin tua... dan aku tiba2 membayangkan tangisannya...
dalam hati aku bertanya apakah ibu akan menangis???

aku turun dari bus dan langsung menemui mereka. ku peluk ayah, ku peluk kk, dan akhirnya kupeluk orang yang sangat ku rindukan,,, IBU...
Ibu tidak menangis,, tidak sama sekali.. malah dia tersenyum melihatku...
Melihat itu tiba2 air mataku jatuh dan aku menangis...
ibu lalu mengusap air mata ku... dan bertanya..."nak,, mengapa kau menangis?? apa kau tidak bahagia bertemu ibu?".....
lalu aku menjawab... "aku menangis bukan karena tidak bahagia menemui ibu.... tapi aku menangis karena teringat betapa sering AKU MEMBUAT IBU MENANGIS...."
lalu ibu pun menangis dan kami berpelukan....

IBU... AKU MENCINTAIMU..... dan aku berjanji aku tak kan membuatmu menangis lagi,,,, karna tangisanmu adalah kesedihanku,,, dan senyumanmu adalah kebahagiaan ku.....

Kamis, 10 November 2011

Kisah qurban "Yu Timah"

Milis Yayasan Sedekah.net,
Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta.
Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara.
Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa.
Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta . Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus.
Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
“Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
“O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?”
“Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.”
“Mau ambil berapa?” tanya saya.
“Enam ratus ribu, Pak.”
“Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
“Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.”
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
“Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?”
“Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”
“Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.”
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.
Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri.

“Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?” Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal
itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.

Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Reff: RESONANSI – Republika, Ahmad Tohari

 

Selasa, 01 November 2011

Renungan Menyambut Idul Adha

Setelah melayani pembeli, saya melihat seorang ibu sdg memperhatikan
dagangan kami, Dilihat dari penampilannya sepertinya gak akan beli. Namun
saya coba hampiri dan menawarkan. "Silahkan bu. ibu itu menunjuk, "Kalau
yg itu berapa bang?" Ibu itu menunjuk hewan yg paling murah.

Kalau yg itu harganya 600rb bu, jawab saya. Harga pasnya berapa?, 500rb deh.
harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah.. "Uang saya Cuma ada 450rb,
boleh gak". Waduh..saya bingung, karena itu harga modal kami, akhirnya saya
berembug. "Biarlah.."

Sayapun mengantar hewan ibu, Ketika sampai di rumah ibu tersebut.
Astaghfirullaah.. Allahu Akbar, terasa mengigil seluruh badan demi melihat
keadaan rumah ibu tersebut.

Ibu itu hanya tinggal bertiga dgn ibu dan satu orang anaknya di rumah gubuk
berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur/ kasur, yang ada hanya
dipan kayu beralas tikar lusuh.

Diatas dipan sdg tertidur seorang nenek tua kurus. "Mak..bangun mak, nih
liat Sumi bawa apa", perempuan tua itu terbangun. " Mak Sumi udah beliin
kambing buat emak qurban, ntar kita bawa ke Masjid ya mak.

Orang tua itu kaget namun bahagia, sambil mengelus-elus kambing orang tua
itu berucap, Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga emak qurban.

"Nih bang duitnya, maaf ya kalau saya nawarnya ke murahan, saya hanya kuli
cuci, saya sengaja kumpulkan uang untuk beli kambing yg mau saya niatkan
buat qurban ibu saya.

duh GUSTI...Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hambaMU yg satu
ini. HambaMU yg Miskin Harta tapi dia kaya Iman. Seperti bergetar bumi ini
setelah mendengar niat dari ibu ini.

"Bang nih ongkos bajajnya.!, panggil si Ibu, "sudah bu, biar ongkos bajaj
saya yg bayar. Saya cepat pergi sblm ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah
krn tak sanggup mendapat teguran dari Allah yg sudah mempertemukan dgn
hambaNYA yg dgn kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan
orang tuanya....Subhanallah

Senin, 28 Maret 2011

FW: 40 Tahun Berbuat Dosa

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa pada zaman Nabi Musa as, kaum bani Israil pernah ditimpa musim kemarau panjang, lalu mereka berkumpul menemui Nabi Musa as dan berkata:

"Wahai Kalamullah, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan  untuk kami!"

 Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan mereka bersama-sama berangkat menuju ke tanah lapang. Dalam suatu pendapat dikatakan bahwa jumlah mereka pada waktu itu lebih kurang tujuh puluh ribu orang.

 

Setelah mereka sampai ke tempat yang dituju, maka Nabi Musa as mulai berdoa. Diantara isi doanya itu ialah: "Tuhanku, siramlah kami dengan air hujan-Mu, taburkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami terutama bagi anak-anak kecil yang masih menyusu, hewan ternak yang memerlukan rumput dan orang-orang tua yang sudah bongkok. Sebagaimana yang kami saksikan pada saat ini, langit sangat cerah dan matahari semakin panas.

 

Tuhanku, jika seandainya Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku sebagai Nabi-Mu, maka aku mengharapkan keberkatan Nabi yang ummi yaitu Muhammad SAW yang akan Engkau utus untuk Nabi akhir zaman.

 

Kepada Nabi Musa as Allah menurunkan wahyu-Nya yang isinya: "Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi bersama denganmu ini ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama empat puluh tahun. Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini! Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya."

 

Nabi Musa kembali berkata: "Wahai Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang lemah, suaraku juga lemah, apakah mungkin suaraku ini akan dapat didengarnya, sedangkan jumlah mereka lebih dari tujuh puluh ribu orang?" Allah berfirman: "Wahai Musa, kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka!."

 

Menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Nabi Musa as segera berdiri dan berseru kepada kaumnya: "Wahai seorang hamba yang durhaka yang secara terang-terangan melakukannya bahkan lamanya sebanyak empat puluh tahun, keluarlah kamu dari rombongan kami ini, karena kamulah, hujan tidak diturunkan oleh Allah kepada kami semuanya!"

 

Mendengar seruan dari Nabi Musa as itu, maka orang yang durhaka itu berdiri sambil melihat kekanan kekiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari rombongan itu. Dengan demikian tahulah dia bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Musa as itu adalah dirinya sendiri. Di dalam hatinya berkata: "Jika aku keluar dari rombongan ini, niscaya akan terbukalah segala kejahatan yang telah aku lakukan selama ini terhadap kaum bani Israil, akan tetapi bila aku tetap bertahan untuk tetap duduk bersama mereka, pasti hujan tidak akan diturunkan oleh Allah SWT."

 

Setelah berkata demikian dalam hatinya, lelaki itu lalu menyembunyikan kepalanya di sebalik bajunya dan menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya sambil berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah durhaka kepada-Mu selama lebih empat puluh tahun, walaupun demikian Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan ketaatan maka terimalah taubatku ini."   Beberapa saat selepas itu, kelihatanlah awan yang bergumpalan di langit, seiring dengan itu hujanpun turun dengan lebatnya bagaikan ditumpahkan dari atas langit.

 

Melihat keadaan demikian maka Nabi Musa as berkata: "Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah di antara kami tidak ada seorangpun yang keluar serta mengakui akan dosa yang dilakukannya?"    

Allah berfirman: "Wahai Musa, aku menurunkan hujan ini juga di sebabkan oleh orang yang dahulunya sebagai sebab Aku tidak menurunkan hujan kepada kamu."

 Nabi Musa berkata: "Tuhanku, lihatkanlah kepadaku siapa sebenarnya hamba-Mu yang taat itu?"

 Allah berfirman: "Wahai Musa, dulu ketika dia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang. Aku akan membuka aibnya itu ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?"

 

(Dikutip dari buku: "1001 Keinsafan "Kisah-kisah Insan Bertaubat. Oleh: Kasmuri Selamat M A)

 

Rabu, 26 Januari 2011

Hutang dan Siksa Kubur

Kisah ini adalah kisah Sayyid Ali seorang yang mulia alim dan wara'. 
Dia adalah putera seorang ulama besar, seorang faqih (seorang
mujtahid) yang mulia, teladan dalam perjalanan ruhani Al-Amir Sayyid Hasan bin Al-Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al-Amir Ismail Al-Isfahani. Ia berkisah sebagai berikut:

Setelah ayahku Allamah (orang yang sangat alim) meninggal, aku tinggal di Masyhad (Iran), sibuk menuntut ilmu. Sampai sekarang aku tidak banyak tahu tentang urasan ayahku secara detail, yang tahu adalah saudara-saudaraku. Setelah tujuh bulan dari wafatnya ayahku ibuku meninggal, dan jenazahnya dibawa dan dikuburkan di Najef (Irak).

Tidak lama kemudian aku bermimpi: seolah-olah aku duduk di rumahku. 
Ketika ayahku masuk, aku berdiri dan mengucapkan salam, kemudian ia duduk di depanku, dan menyapaku dengan lemah lembut, dan aku tahu bahwa ia telah meninggal.
Lalu aku bertanya: Bukankah ayah meninggal di Isfahan?
Ayahku menjawab: Ya, tapi mereka memindahkan aku ke Najef, dan aku sekarang tinggal di sana.
Aku bertanya: Ibu di dekat ayah?
Ayahku menjawab: Tidak
Aku bertanya: Ibu tidak tinggal di Najef?
Ayahku menjawab: Ya, tapi di tempat yang lain.
Aku baru tahu bahwa tempat tinggal orang yang alim lebih mulia dari orang yang tidak alim.
Kemudian aku bertanya tentang keadaannya.
Ayahku menjawab: Dahulu aku kuburku kesempitan, dan sekarang Alhamdulillah dalam keadaan yang baik, kesempitan dan himpitan itu menghilang dariku.

Aku heran atas kejadian itu, dan dengan heran aku bertanya: Ayah dalam kesempitan?
Ayahku menjawab: Ya, karena Haji Ridha bin A`a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan keburukan keadaanku.
Aku bertambah heran, lalu aku terbangun dari tidurku dalam keadaan takut dan heran. Kemudian aku mengirim surat kepada saudaraku tentang wasiat ayahku dalam mimpiku. Dalam suratku aku bertanya, apakah ayah punya hutang kepada orang tersebut, atau tidak? Ia membalas suratku, dalam suratnya saudaraku mengatakan: Aku sudah membuka buku harian ayah, tapi aku tidak menemukan nama orang tersebut; lalu aku mengirim surat lagi untuk kedua kalinya, agar menanyakan langsung kepada orang yang bersangkutan. Lalu saudaraku menjawab suratku: setelah aku tanya pada orang tersebut ternyata benar ayahku pernah berutang kepadanya.

Orang tersebut berkata: Ya, ayahmu punya hutang kepadaku sebesar delapan belas Tuman (mata uang Iran), dan tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya kepadamu: 
apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu, kamu menjawab tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan uang padanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin ia tidak mencatat dalam buku hariannya, kemudian saat itu aku pulang dengan hati yang kecewa.

Kemudian saudaraku berkata kepadanya bahwa aku bermimpi hal itu, dan akan membayarkan hutang ayahku. Kemudian orang tersebut berkata: 
Karena berita dari saudaramu ini, sekarang hutangnya aku relakan dan aku ikhlaskan.
Kisah ini dikutip oleh Syeikh An-Nuri (ra) dalam kitabnya Dar As-Salam 2: 164.