Rabu, 26 Januari 2011

Hutang dan Siksa Kubur

Kisah ini adalah kisah Sayyid Ali seorang yang mulia alim dan wara'. 
Dia adalah putera seorang ulama besar, seorang faqih (seorang
mujtahid) yang mulia, teladan dalam perjalanan ruhani Al-Amir Sayyid Hasan bin Al-Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al-Amir Ismail Al-Isfahani. Ia berkisah sebagai berikut:

Setelah ayahku Allamah (orang yang sangat alim) meninggal, aku tinggal di Masyhad (Iran), sibuk menuntut ilmu. Sampai sekarang aku tidak banyak tahu tentang urasan ayahku secara detail, yang tahu adalah saudara-saudaraku. Setelah tujuh bulan dari wafatnya ayahku ibuku meninggal, dan jenazahnya dibawa dan dikuburkan di Najef (Irak).

Tidak lama kemudian aku bermimpi: seolah-olah aku duduk di rumahku. 
Ketika ayahku masuk, aku berdiri dan mengucapkan salam, kemudian ia duduk di depanku, dan menyapaku dengan lemah lembut, dan aku tahu bahwa ia telah meninggal.
Lalu aku bertanya: Bukankah ayah meninggal di Isfahan?
Ayahku menjawab: Ya, tapi mereka memindahkan aku ke Najef, dan aku sekarang tinggal di sana.
Aku bertanya: Ibu di dekat ayah?
Ayahku menjawab: Tidak
Aku bertanya: Ibu tidak tinggal di Najef?
Ayahku menjawab: Ya, tapi di tempat yang lain.
Aku baru tahu bahwa tempat tinggal orang yang alim lebih mulia dari orang yang tidak alim.
Kemudian aku bertanya tentang keadaannya.
Ayahku menjawab: Dahulu aku kuburku kesempitan, dan sekarang Alhamdulillah dalam keadaan yang baik, kesempitan dan himpitan itu menghilang dariku.

Aku heran atas kejadian itu, dan dengan heran aku bertanya: Ayah dalam kesempitan?
Ayahku menjawab: Ya, karena Haji Ridha bin A`a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan keburukan keadaanku.
Aku bertambah heran, lalu aku terbangun dari tidurku dalam keadaan takut dan heran. Kemudian aku mengirim surat kepada saudaraku tentang wasiat ayahku dalam mimpiku. Dalam suratku aku bertanya, apakah ayah punya hutang kepada orang tersebut, atau tidak? Ia membalas suratku, dalam suratnya saudaraku mengatakan: Aku sudah membuka buku harian ayah, tapi aku tidak menemukan nama orang tersebut; lalu aku mengirim surat lagi untuk kedua kalinya, agar menanyakan langsung kepada orang yang bersangkutan. Lalu saudaraku menjawab suratku: setelah aku tanya pada orang tersebut ternyata benar ayahku pernah berutang kepadanya.

Orang tersebut berkata: Ya, ayahmu punya hutang kepadaku sebesar delapan belas Tuman (mata uang Iran), dan tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya kepadamu: 
apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu, kamu menjawab tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan uang padanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin ia tidak mencatat dalam buku hariannya, kemudian saat itu aku pulang dengan hati yang kecewa.

Kemudian saudaraku berkata kepadanya bahwa aku bermimpi hal itu, dan akan membayarkan hutang ayahku. Kemudian orang tersebut berkata: 
Karena berita dari saudaramu ini, sekarang hutangnya aku relakan dan aku ikhlaskan.
Kisah ini dikutip oleh Syeikh An-Nuri (ra) dalam kitabnya Dar As-Salam 2: 164.