Rabu, 30 Januari 2013

Mbah Pawiro

Jogja, 1985

Aku ingat sosok bungkuk berambut putih itu, jalannya cepat dengan kain jarik yang membalut tubuhnya, namanya Mbah Pawiro, orang-orang di desaku memanggilnya mbah Ro untuk menyingkat namanya. Di usianya yang sudah sepuh mbah Ro tidak pernah diam, dia masih sering keliling desa, ke sawah dan bertandang ke rumah tetangga. Rumahnya di barat desa sangat sederhana, hanya bangunan bambu dengan dinding dari gedeg (bambu anyaman) di semua sisinya. Kata ibuku mbah Ro putri ini dulu waktu muda adalah ledek (penari) yang  berkeliling dari desa kedesa, sampai akhirnya menikah dengan mbah Pawiro Kakung dan tinggal di desa ini. Mereka tidak memiliki anak, dimasa tuanya mbah Ro merawat 3 orang anak kecil yang ditinggal mati ibunya.. mereka piatu, sementara ayahnya jadi duda yang tidak bekerja. Tiga anak inilah yang tiap hari dimandikan, diberi makan oleh mbah Ro.

Hari menjelang magrib, Bapakku yang tugas jadi tentara di Jakarta hari ini pulang ke desa, bapak jadi orang yang dihormati di desa waktu itu, tentara yang pulang dengan seragam hijaunya, para tetangga sering menyapa jika bapak pulang... “ooo Pak Ratno sampun kundur..”

Mbak Pawiro datang kerumah sore itu, dengan badan bungkuknya dia bertemu dengan bapak di ruang tamu, aku mendengar percakapan mereka.

“duuuh Pak Ratnooo.., kulo nyuwun tulung nek wonten beras kagem putu-putu kulo, niki sek esuk dereng kelebon sekul...” mbah Pawiro nembung beras untuk tiga anak yang diasuhnya itu. Suaranya mengayun menghiba mohon belas kasihan, Bapak memberi beberapa lembar uang ribuan yang cukup untuk membeli beberapa liter beras waktu itu, Mbah Pawiro menghujani dengan ucapan terimakasih yang tercecer-cecer hingga ke jalan...

Begitulah wanita bekas ledek itu menutup hari tuanya, merawat anak-anak tanpa orang tua yang kelaparan, hingga akhir hidupnya, bahkan dia rela menjadi peminta-minta agar perut anak-anak itu tidak kelaparan dan tidur dengan perut penuh rintihan....

Mbah Pawiro meninggal hari itu.. segenap tetangga mengantar dengan hikmat hingga ke pemakaman, anak-anak tanpa ibu yang di rawatnya kini kehilangan simbah yang melindunginya.

 

Hari berlalu, bulan, tahun berganti...

Hari ini Mbah Pawiro kakung meninggal dunia, 7 tahun sudah sejak Mbah Pawiro putri menghadap Illahi, warga sepakat simbah kakung dimakamkan bersebelahan dengan simbah Putri. Warga yang bertugas menggali kubur mulai mencangkul tanah disamping makam itu. Satu-persatu tanah dalam ember diangkat keatas, hingga kedalaman dua meter mereka melihat sesuatu yang ajaib di depan mata mereka. Kain kafan yang membungkus jenazah Mbah Pawiro putri masih putih bersih, utuh, tidak rusak walaupun tujuh tahun sudah berlalu, walaupun terpendam di dalam tanah bersama ulat, cacing dan jutaan makhluk pengurai.. Para warga yang terkesima dengan pemandangan itu lalu merapikan sisi kain kafan yang menonjol, memberi ruang yang rapi untuk jenazah mbah Pawiro kakung yang akan dimakamkan sore nanti...

Cerita itu menjadi bahan pembicaraan turun temurun di desaku, hingga ibuku bercerita kepadaku sambil kami ngobrol di meja makan minggu lalu..

 

 

Dikutip dari blog tetangga

SEBUAH KISAH TENTANG KEBAIKAN

Suatu hari saya naik angkutan kota menuju Terminal. Pengemudi angkot itu adalah seorang pemuda.

Didalam angkot duduk 7 penumpang, termasuk saya. Masih ada 5 kursi yg belum terisi.

Di tengah jalan, angkot2 saling menyalip untuk berebut penumpang. Tapi ada pemandangan aneh.

Di depan angkot yg kami tumpangi, ada seorang ibu dgn 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan.

Tiap ada angkot yg berhenti dihadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.

Kejadian ini terulang beberapa kali. Ketika angkot yg kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya: “Dik, lewat terminal bis ya?”, supir tentu menjawab “ya”.

Yang aneh si ibu tidak segera naik. Ia bilang “tapi saya dan ke 3 anak saya tidak punya ongkos.”

Sambil tersenyum, supir itu menjawab “gak papa Bu, naik saja”, ketika si Ibu tampak ragu2,

supir mengulangi perkataannya “ayo bu, naik saja, gak papa ..”

Saya terpesona dgn kebaikan Supir angkot yg masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang,

tapi si Supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk si ibu & anak2nya.

Ketika sampai di terminal bis, 4 penumpang gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada Supir.

Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang Rp.20 ribu.

Ketika supir hendak memberi kembalian (ongkos angkot hanya Rp.4 ribu) Pria ini bilang bahwa uang itu untuk ongkos dirinya & 4 penmpang gratisan tadi.

“Terus jadi orang baik ya, Dik ” kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu ...

Sore itu saya benar2 dibuat kagum dengan kebaikan2 kecil yg saya lihat. Seorang Ibu miskin yg jujur, seorang Supir yg baik hati, &

seorang penumpang yg budiman. Mereka saling mendukung untuk kebaikan.

Andai separuh saja bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita!

Jumat, 11 Januari 2013

Habib Idrus bin Salim Aljufri, Penyebar Islam di Indonesia Timur

“Apa arti merdeka jika kita tidak bisa mendidik diri sendiri.”
Sepenggal kalimat itu meluncur dari mulut Habib Idrus bin Salim Aljufri ketika Indonesia masih seumur jagung setelah mengikrarkan kemerdekaan pada 1945.
Apa yang disampaikan Habib Idrus itu sejatinya merupakan cambuk bagi semua anak negeri ini untuk membekali diri dengan ilmu.
Sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini memang dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu. Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia tularkan kepada orang lain.
Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Inilah sumbangsih nyata Guru Tua kepada negeri ini. Alkhairaat ia dirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usianya menginjak 41 tahun.
Dan, ketika ia wafat pada usia 77 tahun, lembaga pendidikan Alkhairaat telah menyebar di kawasan timur Indonesia. Kala Guru Tua menutup mata, Alkhairaat sudah memiliki 425 madrasah, sekolah, hingga perguruan tinggi.
Dari hari ke hari, warisan pendidikan dari Habib Idrus terus meluas. Kini, Alkhairaat telah menyebar ke 11 provinsi di kawasan timur Indonesia. Dari sebaran itu, tercatat ada sekitar 2.000 madrasah dan sekolah Alkhairaat yang kini eksis.
“Antara Habib Idrus dan Alkhairaat ibarat sekeping mata uang yang permukaannya berbeda, tapi memiliki nilai yang sama,” kata salah satu cucunya, Alwi bin Saggaf bin Muhammad Aljufri, dalam pidato haul ke-44 Habib Idrus di Palu, beberapa waktu lalu.

Lahir di Hadramaut

Meski mengabdi di Indonesia, Habib Idrus tidak lahir di negeri ini. Ia lahir pada 14 Sya’ban 1309 Hijriah atau 1889 M di Kota Taris, Provinsi Hadramaut, Yaman Selatan.
Meski lahir di “seberang”, tetapi di dalam darahnya masih mengalir garis keturunan Indonesia. Ibunya, Syarifah Nur, masih memiliki ikatan famili dengan Aru Matoa, raja di Wajo Sengkang, Sulawesi Selatan. Artinya, Habib Idrus tetaplah seorang Indonesia.

Semasa kecil, Idrus bin Salim Aljufri telah memperlihatkan kecerdasan yang mumpuni, juga bakat memimpin.
Pada usia 12 tahun, misalnya, ia sudah hafal Alquran. Selain ilmu agama, ia juga menguasai ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu falak dan aljabar.
Lalu, ketika usianya menapak 19 tahun, ia mendapat amanah untuk menduduki jabatan yudikatif sebagai mufti di tanah kelahirannya. Jabatan itu membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai mufti termuda.
Walau jabatan sudah di tangan, Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya.
Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia.
Hal itu bermula ketika Habib Idrus bersama Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah Assagaf mengadakan perjalanan ke luar tanah kelahirannya untuk menggalang opini dunia internasional atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pihak Inggris di Yaman Selatan.
Sayang, rencana itu kandas. Ia tertangkap di Pelabuhan Aden dengan barang bukti sejumlah dokumen yang hendak dibawanya ke luar negeri.
Saat itu, pihak penguasa memberinya dua pilihan, kembali ke Hadramaut atau mengubah rute perjalanan ke Asia Tenggara. Pilihan kedualah yang dipilih Habib Idrus. Sedangkan, sahabatnya memilih kembali ke Hadramaut.
Sejarah mencatat, Habib Idrus tiba di Pulau Jawa pada 1926. Sekitar dua tahun ia berada di Jawa.
Di tanah Jawa ini ia sempat menjalin keakraban dengan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

 

Sebelum memutuskan hijrah ke Palu, Habib Idrus sempat mendirikan Madrasah Ar-Rabitha di Solo.
Tetapi, ikhtiarnya untuk berdakwah bukanlah di Jawa. Sempat menimbang pilihan ke Maluku dan Manado, akhirnya ia memutuskan untuk mengarungi lautan ke Palu.
Di tempat baru ini ia menemukan lingkungan yang sangat berbeda dengan di Jawa. Meski sudah ada penganut Islam, tetapi masih banyak warga di tempat ini yang melakoni ritual animisme, takhayul, dan khurafat.
Kondisi itu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Habib Idrus. Meski demikian, hatinya tak pernah gamang. Tekadnya bulat untuk mengikis paham sesat yang telanjur berkembang di tempat baru ini. Ikhtiar dengan penuh keikhlasan itu ternyata membuahkan hasil.
Aktivitas dakwahnya dan lembaga pendidikan Alkhairaat yang didirikannya terus berkembang ke seluruh wilayah Sulawesi Tengah, lalu menyebar ke kawasan Indonesia Timur, termasuk Papua.

Dari Gelar Pahlawan Hingga Nama Bandara
Ada harapan besar yang menyembul di tengah perayaan haul Habib Idrus ke-44 tersebut. Harapan itu adalah menganugerahkan gelar pahlawan serta menjadikan namanya sebagai nama bandara di Sulawesi Tengah.
Keinginan untuk memberikan gelar pahlawan kepada Guru Tua dibenarkan oleh Menteri Sosial, Salim Segaf Aljufri, yang juga salah satu cucu Habib Idrus. Tetapi, sebagai pihak keluarga, ia menyerahkan keputusan itu kepada masyarakat.
“Kalau kami dari keluarga menyerahkannya kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Karena apa yang dilakukan Habib Guru Tua itu secara ikhlas, tanpa pamrih,” katanya.
Titah untuk memberikan gelar pahlawan, diakui Salim Segaf, berada di bawah kewenangannya. Tetapi, ia tak mau mengintervensi. “Memang ada sekitar enam bulan di meja saya, tetapi saya sengaja tidak proses,” tuturnya.

Selain gelar pahlawan, nama Habib Idrus juga diusulkan untuk menjadi nama bandara di Sulawesi Tengah, yang sebelumnya bernama Mutiara.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan kepada Habib Idrus yang berjasa menyebarkan Islam di wilayah Sulawesi Tengah, juga Indonesia Timur.
Habib Idrus berjasa pula mendirikan lembaga pendidikan Islam Alkhairaat.
“Apa yang dia lakukan sangat berpengaruh bagi perkembangan umat dan kemajuan pendidikan. Jadi, beliau sangat pantas disebut pahlawan,” kata Menag.
Selain gelar pahlawan, nama Habib Idrus juga diusulkan untuk menjadi nama bandara di Sulawesi Tengah, yang sebelumnya bernama Mutiara. Usulan tersebut kembali ditegaskan oleh Walikota Palu, Rusdy Mastura, pada peringatan haul ke-44 Guru Tua di Palu.
“Saya sudah mengusulkannya kepada DPRD agar nama lapangan terbang (bandara) Mutiara ditambah menjadi Mutiara Sayyidi Idrus bin Salim Aljufri. Insya Allah bisa cepat terwujud,” katanya.
Anggota MPR RI, Shaleh Muhammad Aljufri, juga sudah menyampaikan usulan tersebut kepada pejabat setempat.
“Nama Mutiara itu untuk menghargai Presiden Soekarno sebagai pihak yang memberikan nama Bandara Mutiara. Bagi kami, Habib Idrus adalah mutiara yang memancarkan sinarnya untuk Sulawesi Tengah sehingga nama tersebut cukup tepat,” kata Shaleh.

 

Rabu, 09 Januari 2013

Mukjizat Cinta seorang istri

Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu' berdoa, merendah diri kepada sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya. Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.

Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat
kebiasaan setempat, upacara pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia itu. Semua orang ta'jub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.

Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai. Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa 'Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jama'a bainakuma fii khairin' mengalir dari para undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian suci, beriman dan shalihah.

Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.

Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama. Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang suami mengawasi dirinya.

Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar. Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Oh…segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka. Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar, Alhamdulillah 'ala kulli halin. "Ya bagaimanapun yang dihadapi alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban."

Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. "Ya Allah, aku harus kuat dan tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku." Kata wanita itu lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan hidayah kepada suaminya melalui tangannya.

Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan, malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis. Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam dalam hati, "Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di dunia ini." Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah ta'ala mengirimkan rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.

Sang suami menuturkan, "Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam kekhusyu'annya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan seluruh jiwa ragaku."

Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, subhanallah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Qur'an yang demikian syahdu menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah. Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis. Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah cantiknya.

Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi, meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.

Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya.

Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.

Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi da'i besar di kota Madinah. Memang benar, wanita shalihah adalah harta karun yang amat berharga dan termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan "bukan permata biasa".

Berkah Balasan Sedekah

Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.


Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. "Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?"

Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.

Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. "Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?" ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.

Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. "Sudah, pergilah kau dari sini!

Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, "Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini."

Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, "Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!"

Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.

Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, "Tahun ini aku tidak jadi naik haji!"

Seseorang menegurnya, "Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?" Yang lain berkata, "Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?" Sementara yang lain berkata pula, "Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?"

Abdullah menjawab, "Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini." Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.

Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, "Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!"

Kisah yang terdapat dalam kitab "An-Nawadir" karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a'lam.

Jumat, 04 Januari 2013

Kisah seorang Ibu

Seorang ibu berusia 59 tahun bernama Hastuti di Jati Asih Bekasi saat itu sedang gamang. Ia tengah berdiri di sebuah konter bank setelah menarik dana sebesar 1 juta rupiah dari Teller. Rasa sedih menghinggapinya lagi. Hampir saja ia menangis meratapi jumlah saldo tabungannya yang kini tersisa 7 juta sekian.

Bukan masalah duit yang tersisa yang sebenarnya yang membuat ia hampir menangis. Namun, sungguh saldo itu semakin jauh saja dari Biaya Setoran Haji yang berjumlah 28 juta.



Sudah berkali-kali ia mencoba menyisihkan uang yang ia miliki untuk dapat berhaji. Namun sudah berulang kali angka saldo itu tidak pernah lebih dari Rp 8 juta. Setiap kali sampai angka tersebut, selalu ada saja keperluan mendesak yang harus ia tutupi. Jadi, saldo di tabungan bukannya makin bertambah, yang ada selalu kurang dan berkurang. Semalam Hastuti tak kuasa menahan gundahnya. Ia laporkan kegalauannya kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dalam doa & munajat.

Seolah mendapat ilham dari Allah, paginya ia menarik dana sebesar 1 juta. Kali ini dana yang ia tarik bukan untuk keperluannya pribadi, namun uang sejumlah itu akan ia infakkan kepada anak-anak yatim yang berada di lingkungannya.


Sejak pagi, ibu Hastuti sudah keluar dari rumah. Menjelang sore, baru ia kembali setelah mengambil uang di bank dan kemudian membagikannya kepada anak-anak yatim di sekitar.


Ia tiba di rumah pada pukul setengah empat sore. Ia langsung menuju kamar. Usai ganti baju dan shalat Ashar, ia panggil pembantunya yang bernama Ijah untuk membuatkan secangkir teh.


Ijah pun datang dan membawakan teh untuk sang Majikan. Dalam rumah seluas 200 meter itu, hanya mereka berdua yang mendiami. Ibu Hastuti adalah seorang perempuan yang sudah belasan tahun menjanda. Ia memilik 3 orang putra dan 2 putri. Kini semuanya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ibu Hastuti tinggal sendiri bersama Ijah dalam masa tuanya. Hal ini mungkin adalah sebuah potret lumrah masyarakat modern Indonesia zaman sekarang.


Saat Ijah datang membawa teh pesanan majikannya. Setelah meletakkan cangkir teh di meja, Ijah mendekat ke arah majikannya untuk memyampaikan sebuah berita.


"Bu..., tadi saat ibu pergi, den Bagus datang kira-kira jam 9. Ia tadinya mencari ibu, tapi karena ibu gak ada di rumah, ia nulis surat dan nitipkan sebuah amplop cokelat."


Ibu Hastuti pun kemudian mengatakan, "Oalah... Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang. Aku khan juga kangen. Sudah lama gak ketemu. Ayo, mana Jah suratnya. Mungkin dia juga kesel sudah datang jauh-jauh tapi gak ketemu dengan bundanya."


Ijah pun masuk kembali untuk mengambil surat den Bagus dan amplop yang dititipkan. Amplop cokelat itu seperti berisikan sejumlah uang. Bentuknya pun tebal. Apalagi dalam amplop tersebut bertuliskan logo sebuah bank. Namun hasrat untuk membuka amplop itupun ditahan oleh Bu Hastuti. Tangannya kemudian bergerak ke selembar kertas yang disebut sebagai surat oleh Ijah.


Bu Hastuti mulai membacanya. Diawali dengan basmalah dan salam, surat itu dibuka. Tak lupa ucapan dan doa kesehatan untuk bunda dari anak-anaknya.


Tak lebih dari 2 menit, surat itu telah selesai dibaca oleh ibu Hastuti. Namun dalam masa yang singkat itu, air mata membanjiri kedua matanya, mengalir deras menetesi pipi dan beberapa bulir terlihat jatuh di surat yang ia pegang. Kemudian ia pun mengintip uang yang berada dalam amplop cokelat itu. Kemudian ia berucap kata "Subhanallah!" berulang-ulang seraya memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas anugerah yang tiada terkira.


Seusai mengontrol hatinya, ia segera menelpon Bagus, anak pertamanya. Saat nada sambung terdengar, ia menarik nafas yang dalam. Begitu tersambung, bu Hastuti langsung mengucapkan salam dan mengatakan,


"Terima kasih ya Nduk... Subhanallah, padahal baru semalam ibu berdoa mengadu kepada Allah kepingin berhaji, tapi ibu malu mau cerita kepada kalian semua. Takut ngerepotin... Eh, kok malah pagi-pagi kalian semua sudah nganterin duit sebanyak itu. Makasih ya, Nak... Nanti ibu juga mau telponin adik-adikmu yang lain. Semoga murah rezeki dan tambah berkah!"


Di seberang sana, Bagus putra pertamanya berkata,

"Sama-sama bu... Itu hanya kebetulan kok. Beberapa hari lalu, saya ajak adik-adik untuk rembugan supaya dapat menghajikan ibu. Kebetulan kami semua lagi diberi kelapangan, maka Alhamdulillah uang itu dapat terkumpul. Mudah-mudahan ibu bisa berhaji selekas mungkin...."

Nada suara Bagus terdengar ceria oleh ibunya. Seceria hati Hastuti kini. Sudah lama ia bersabar untuk dapat berhaji ke Baitullah.


Alhamdulillah setelah penantian sekian lama, Allah lapangkan jalan bu Hastuti untuk datang ke rumah-Nya dengan begitu mudah. Dengan dana Rp 30 juta dari anak-anaknya, niat untuk berhaji pun ia wujudkan pada tahun 2004.

Walillahil Hamd!

Sungguh dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Sungguh dalam setiap kesulitan, ada kemudahan! (QS: Al - Insyirah [94] : 5-6)


Sumber : al-kauny.com


Buah keikhlasan

Beberapa waktu yg lalu dalam perjalanan Naik Bis antar Propinsi Kalimantan, dari Banjarmasin menuju Samarinda, di sebelah saya duduk seorang laki2 paruh baya yg penampilannya cukup tenang dan simpatik.

Perjalanan yg cukup panjang selama 18 jam tsb, tdk terasa melibatkan kami dalam obrolan panjang yg ternyata sangat sarat makna dan hikmah yg ingin saya sharingkan kepada teman2 semua disini.


Ini beberapa petikan percakapan tsb :



" Ke Samarinda juga Pak " Tanya saya membuka pembicaraan.

" Betul dik, saya mau pulang ke Samarinda, sdh beberapa hari ini saya di Banjarmasin " Kata Pak Budi sambil menjawab pertanyaan saya dan memperkenalkan dirinya.


"Oh..., kalau boleh tahu apa ada keluarga yg di jenguk Pak ?" Kata saya melanjutkan pembicaraan.


"Oh tidak, saya pengen buka cabang usaha saya di Banjarmasin " Jawab Pak Budi Kalem sambil tersenyum hangat.


" Wah...Bapak luar biasa sdh buka cabang baru lagi di Banjarmasin, pasti usaha Bpk maju pesat, dan kalau boleh tahu bergerak di bidang apa Pak ? " Kejar saya pengen tahu.


" Alhamdulillah, saya punya usaha rental mobil dan kursus menyetir dik. Saya sdh buka beberapa cabang di Kal-Tim dan ini mau saya lebarkan lagi usahanya ke Kal-Sel"


" Hebat Pak, pasti Bpk memang sudah merintis dan merencanakan pengembangan usaha ini dgn baik, Bpk benar2 seorang usahawan sejati " Puji saya terus terang.


"Ha..ha..inilah yg orang banyak salah sangka dik, saya sebenarnya seorang guru SD, dan sampai sekarang ini, saya juga msh aktif mengajar kok " kata Pak Budi menjelaskan sambil matanya menerawang, mungkin teringat dgn perjalanan hidupnya tsb.


" Ah..yang bener Pak, Luar biasa Bpk ini. Bagi pengalaman dong Pak, gimana caranya bisa mengembangkan usaha Bpk sampai sebesar ini ditengah Bpk sibuk utk mengajar juga. " Kejar saya lagi.


" Begini dik..., di dunia ini tdk ada yg tdk mungkin kalau Tuhan berkehendak, Adik percaya "


" Saya percaya dan yakin Pak " jawab saya.


"Begitulah yg terjadi dalam kehidupan saya Dik, saya lebih suka bilang bahwa terjadi kemu'jizatan dalam hidup saya, Tuhan telah ikut turut campur tangan yg sangat besar dalam perjalanan hidup saya shg spt sekarang ini " Pak Budi memulai ceritanya.


" Spt yg adik bilang hidup saya sdh cukup disibukkan dgn kegiatan mengajar sbg guru shg hampir tdk pernah terpikirkan utk melakukan hal2 yg lain, apalagi utk berwiraswasta, wah..terbayangk an pun tidak sebetulnya"


"Sampai suatu ketika di suatu sore, saya kedatangan seorang pemuda yg ingin mencari pekerjaan ke rumah saya"


"Awalnya saya bingung bagaimana cara bantu pemuda tsb, padahal kata pemuda tsb dia sangat perlu sekali pekerjaan utk membiayai Ibunya yg sdh tua dan adik2 nya yg msh bersekolah"


"Dalam kondisi bingung tsb, tiba2 Pemuda tsb bertanya"


"Pak, mobil yang di samping rumah itu mobil Bpk" tanya Pemuda tsb.


"Betul, jawab saya. Tapi itu mobil Colt tua, sering mogok, jarang saya pakai, karena lebih enak naik motor" jawab saya

Kepada Pemuda tsb.

"Bapak gimana kalau saya yg perbaikin mobil Bpk tsb, kebetulan saya tahu sedikit ttg mesin, nanti kalau sdh baik saya bawa mobil tsb utk saya taxi kan, mengenai upah saya, saya percayakan kepada Bpk saja pembagiannya, yg penting saya bisa kerja Pak" mohon pemuda tsb.


Karena memang niat saya awalnya ikhlas pengen banget menolong pemuda tsb, tentu saja permintaan Pemuda itu langsung saya setujui, bahkan seluruh pengelolaan mobil tsb saya percayakan saja kepada dia, karena saya tetap harus konsentrasi utk mengajar....


" Dan Masya Allah, ternyata kalau niat kita utk menolong orang lain tsb ikhlas, Allah mempermudah semua urusan dan menggantinya dgn berlipat ganda, usaha taxi mobil tsb terus berkembang. Dari mobil tua bisa di ganti dgn mobil baru, dari 1 mobil jadi 2, dari 2 jadi 4, dan terus bertambah bahkan sekarang kami sdh bisa membuka usaha baru berupa Kursus dan private Menyetir bagi para pemula "


Saya terus menyimak cerita Pak Budi tsb, sambil merenung bahwa hidup ini sebenarnya mudah kalau kita memang selalu ingat ada ALLAH tempat kita bersandar.


Ada ALLAH tempat kita meminta....


si Kecil nan Cantik dalam Pelukan

Hari ini melelahkan sekali, aku harus berganti kereta sampai 2 kali, dari arah Depok menuju stasiun Kota, dari stasiun Kota nyambung lagi dengan kereta Patas arah Angke sampai stasiun Merak. Tapi karena jadwal kereta kadang tidak jelas, harusnya kereta Patas berangkat pukul 10 tapi jadi molor jauh tidak jelas pukul berapa kereta harus berangkat (mirip lagu Iwan Fals).Sesaat aku duduk di gerbong yang tidak terlalu padat, disisiku ada seorang ibu yang menggendong anaknya sepertinya sedang terlelap.
Karena jenuhmenunggu kereta tidak berangkat-berangkat, akhirnya untuk mengusir rasa kejenuhan aku mencoba mengajak ngobrol ibu yang menggendong anaknya tepat disebelahku.

Aku : "Ibu, ini anak ibu?"
Ibu : "Iya, neng". Menjawab dengan tanpa ekrspresi dan aku semakin penasaran.
Aku : "cantik ya bu, anaknya". Terlihat sekali anak itu didandani dengan bedak dengan baju warna pink serta sedikit celak dimatanya.
Ibu : "Terima kasih, neng". Masih tanpa ekspresi. Lalu ku lanjutkan pertanyaanku.Aku : "Mau kemana, bu?".
Ibu : "Ke daerah Rangkasbitung". Sambil menyebutkan suatu daerah di Rangkasbitung.
Aku : "Wah, jauh ya bu".
Ibu : "Iya, neng". Masih dalam ekspresi tak jelas.

Kereta sudah 1 jam lamanya tapi belum jalan juga, katanya ada banjir di daerah Tanah Abang, otomatis perjalanan kereta sementara banyak yang tertunda.Anak dalam pangkuan si ibu tadi masih dengan tenang dalam pelukan ibunya, padahal penumpang semakin sesak terasa tak nyaman dan mulai panas.
Aku kembali penasaran kok bisa anak sekecil itu tetap tenang dalam keadaan kereta yang sangat panas tak ada penyejuk sekedar kipas angin saja.Aku : "Bu, kok anaknya anteng ya..padahal panas gini". Aku kembali membuka pembicaraan.
Tiba-tiba si ibu menangis….

Aku : "Bu, maaf…ada yang salah dengan kata-kata saya". Tanyaku semakin penasaran.
Ibu : "Tidak, neng…ibu sedih sekali". Dia sepertinya mulai membuka diri padaku.
Aku : "Kenapa sedih, bu?".
Ibu : "Maaf, neng…tolong setelah ibu ceritakan semuanya jangan katakan pada siapapun, pada penumpang maupun kondektur. Neng, mau janji?".Aku sangat penasaran cerita apa yang akan disampaikan si ibu, sampai berpesan jangan sampai menceritakan pada penumpang kereta dan kondektur. Apa hubungannya mereka dengan si ibu ini.
Aku : "Insyallah, bu. Saya tidak akan menyampaikan kembali cerita yang akan ibu bagi pada saya".
Ibu : "Terima kasih neng, sebelum dan sesudahnya." Kemudian aku menyimak isi cerita si ibu.

Sudah satu minggu ini anaknya sakit panas tapi si ibu hanyalah pemulung yang mengais rizki lewat sampah-sampah yang berserakan.
Penghasilan yang tidak menentu. Kalaupun dapat uang dari hasil menjual sampah plastiknya, itupun tak seberapa hanya cukup untuk makan. Dia tidak punya tempat tinggal tetap, kadang tidur di emperan atau di bawah jembatan layang.Si ibu ingin sekali membawa anaknya ke dokter tapi dia tak memiliki uang, karena dia bukan warga DKI Jakarta dan tak memiliki KTP DKI jadi dia tidak mendapatkan jaminan apa-apa. Si kecil anaknya hanya diobati ala kadarnya tapi ternyata penyakitnya tak kunjung sembuh. Sampai subuh tadi akhirnya si kecil dalam pangkuannya meninggal dunia.
Setelah meninggalpun dia bingung, kalau harus dikubur di Jakarta, ongkos untuk menguburkannya pun dia tak punya cukup uang. Dan bila dia bawa ke kampungnya yang cukup jauh dari kota Jakarta dengan menggunakan mobil jenazah, itupun tak cukup ada uang, dibutuhkan uang sekitar Rp 1.000.000,-. Uang sebesar itu kata si ibu sangat besar dalam ukuran dia.
Akhirnya, lewat bantuan para gelandangan dan pemulung terkumpullah uang sebesar Rp 250.000,- uang sebesar itu cukup untuk membawa si kecil ke kampung halamannya dan dikuburkan disana yang tidak memakan biaya besar.Aku benar-benar tercengat dengan penuturan si ibu, lalu atas seizin si ibu ku pegang tangan si kecil nan cantik dalam pelukan ibunya. Subhanallah…benar ya Robb, tangan mungil itu begitu dingin tak ada denyut nadi disana. Ku cium dengan lembut keningnya, amat dingin tak ada jiwa disana. Ya Robb, si kecil nan cantik itu tertidur damai dalam pelukan si ibu yang amat menyayanginya.Aku tak dapat menahan haru, ingin rasanya ku peluk dia dan ibunya. Begitu sulitnya hidup ini sampai akhir hayatnya pun si kecil nan cantik itu tak merasakan keramahan negeri ini. Aku hanya terdiam dan menatap haru, sungguh ingin rasanya aku berteriak pada negeri ini.Wahai penguasa nan congak dan sombong, lihat… ada rakyatmu yang begitu menderita. Terbelenggu dalam kemiskinan dan keangkuhanmu. Tak bisakah kau membuka mata hatimu, tetapi kepongahan terus menjalar dihatimu.
Si ibu, tak pernah meyalahkan siapapun dengan keadaanya, dia hanya mengatakan "ini takdir Tuhan".Kereta sesaat melaju, aku kini terdiam tanpa kata. Tak ada pertanyaan yang membuatku penasaran, kini sudah aku dapatkan jawaban dari keterdiaman si ibu dan indahnya tidur panjang si kecil nan cantik.
Selamat tidur nak, Allah bersamamu selalu dalam damai di surga sana.

Rabu, 02 Januari 2013

KEAJAIBAN SEDEKAH YANG MENAKJUBKAN ...

Di Bontang, Kalimantan Timur ada sebuah perusahaan kaya raya dengan fasilitas yang luar biasa bagi karyawannya. Penghasilan para pegawainya berlipat-lipat dibanding dengan perusahaan swasta maupun nasional lainnya. Tunjangan berupa rumah, mobil, pendidikan anak bahkan makan pun diberikan.

Beberapa kali saya berkunjung ke sana maka saya hanya berkomentar, "Betapa beruntungnya mereka yang tinggal dan bekerja di tempat ini!" Mereka hidup di sebuah komplek yang terisolir dari dunia Bontang. Pagar-pagar mereka kokoh berdiri dan lengkap dengan petugas keamanan yang membuat komplek perumahan itu terisolir dari dunia luar.

Penghasilan besar yang mereka dapat, -mungkin sebab sulit untuk mendapatkan mustahik-, maka kewajiban zakat dan sedekah pun barangkali tak tersalurkan. Namun meski demikian hal yang menjadi hak Allah adalah tetap menjadi hak-Nya. Dimana suatu saat Dia pun akan menagihnya.

Sore itu saya diminta bersilaturrahmi dengan sebuah majlis taklim kaum ibu di sana. Tema yang diminta membuat saya berpikir keras untuk mencari referensinya. BEROBAT DENGAN SEDEKAH!!! "Darimana saya harus memulai...?" saya membatin.

Alhamdulillah atas izin Allah Swt ceramah pengantar yang saya berikan terasa nikmat. Jangankan untuk mereka kaum ibu yang mendengarkannya, saya sendiri saja merasakan kenikmatan itu. Rupanya Allah Swt memberi keberkahan pada majlis kami saat itu. Tanpa terasa saya dapati beberapa 'ilmu ladunni' yang Allah berikan. Sehingga saya belajar saat mengajar. Menjadi mengerti bersama orang-orang yang mencari pemahaman.

Allah mewariskan ilmu yang diketahui seseorang, asalkan ia mengamalkan ilmu yang sudah pernah ia ketahui. (Muhammad Saw)

Usai pembicaraan kurang lebih sekitar setengah jam, maka saya menawarkan kepada peserta majlis untuk bertanya dan berdialog. Di sana rupanya ada seorang ibu berusia lebih dari 40 tahun, sebutlah namanya Reni. Tiba-tiba ia mengacungkan tangan dan ternyata ia bukan hendak bertanya akan tetapi ia ingin berbagi pengalaman kepada semua peserta yang hadir. Reni pun memulai kisahnya:

Kira-kira 17 tahun yang lalu Reni hamil untuk pertama kali. Allah Swt menakdirkan bahwa Reni keguguran. Maka dari Bontang, ia pun diantar oleh suaminya pergi ke Balikpapan dengan pesawat untuk berobat ke seorang dokter terkenal di sana bernama Yusfa. Akhirnya Reni dikuret rahimnya.

Sepulangnya dari Balikpapan, Reni mendapati dari qubulnya selalu keluar darah dalam jumlah banyak. Bahkan lebih banyak dari menstruasi rutin. Apalagi bila ia bangun tidur, ia dapati kasur dan sprei selalu bersimbah darah. Ia panik dan kalut mengatasi hal ini. Maka ia pun kembali lagi ke Balikpapan bersama suaminya untuk berobat ke dokter Yusfa.

Sayangnya sang dokter tidak mengerti sebab pendarahan hebat ini. Maka yang terjadi adalah kali itu Reni dikuret lagi. Sakit dan perih, itulah yang dirasakan Reni!

Namun pendarahan itu masih tetap saja terjadi, padahal hampir setiap dua hari sekali Reni dan suami terbang Bontang-Balikpapan untuk mengkonsultasikan penyebab pendarahan ini. Namun tindakan yang diambil oleh dokter Yusfa hanyalah mengkuret rahim Reni. Reni dan suami hanya bisa pasrah dan berharap pertolongan Allah Swt atas musibah ini.

Kejadian ini berlangsung cukup lama. Hingga tubuh Reni bertambah ringkih, rumah tangga tak terurus, uang tabungan terkuras dan suami tidak bisa bekerja tenang sebab harus sibuk mengurusi Reni. Sepertinya ada sebuah cobaan besar yang sedang Allah Swt timpakan kepada Reni dan suaminya.

Reni & suami terus berdoa kepada Allah Swt agar diberi jalan keluar dari masalah ini.

Hingga akhirnya Allah Swt pun mendengar dan mengijabah doa mereka

Hari itu Reni dan suami hendak terbang ke Balikpapan untuk berkonsultasi dengan dokter Yusfa. Namun ada suara hati yang berbisik pada diri Reni. Ia bawa sejumlah uang dalam jumlah besar. Uang itu bukan ia niatkan untuk bayar biaya pengobatan, akan tetapi ada sebuah cita-cita mulia di sana yang ingin ia wujudkan. Cita-cita itu adalah, "AKU INGIN BERSEDEKAH!" Sejumlah uang itu pun ia masukkan ke dalam tas tangan yang Reni bawa.

Pesawat telah membawa Reni dan suaminya pergi menuju Balikpapan. Setibanya di bandara Sepinggan, Balikpapan Reni berjalan tertatih dipapah oleh sang suami. Dengan susah payah, Reni pun akhirnya tiba di dalam ruang bandara. Di dalam hati Reni berdoa kepada Tuhannya, "Ya Allah, datangkan untukku seorang pengemis yang bisa menerima sedekahku. Izinkan aku untuk bersedekah di hari ini!"

Keinginan untuk bersedekah itu membuncah lagi di hati Reni. Sungguh ia amat berharap untuk bisa bersedekah kali itu.

Pintu keluar bandara sudah dilalui oleh Reni dan suami. Subhanallah, tiba-tiba ada seorang pria berpakaian lusuh menyapa Reni dan menjulurkan tangan tanda minta sedekah. Reni bergembira dan yakin bahwa inilah ijabah doa dari Allah Swt.

Tanpa banyak berpikir, ia merogoh tas tangannya. Sejumlah uang yang sudah disiapkan ia berikan ke tangan pengemis itu. Maka pengemis dan suami Reni melongo melihat jumlah uang yang Reni sedekahkan. Reni pun melanjutkan langkahnya bersama suami dan kemudian mereka masuk ke dalam sebuah taksi untuk pergi ke rumah sakit tempat dokter Yusfa berpraktek.

"Untuk apa uang sebanyak itu kau sedekahkan?! " tanya sang suami. Reni menjawab dengan yakin, "Boleh jadi dengan sedekah itu Allah Swt menyembuhkan penyakitku, Pa!" Mendapati jawaban seperti itu suami Reni tidak banyak mendebat. Memang di saat-saat seperti ini, hanya pertolongan Allah saja yang dapat menyelamatkan mereka.

Seperti kali sebelumnya, tidak ada jawaban positif dari dokter Yusfa atas penyebab pendarahan yang keluar dari qubul Reni. "Hingga saat ini, saya belum tahu pasti apa penyebabnya" jelas dokter Yusfa.

Maka Reni dan suami pun kembali ke Bontang tanpa hasil memuaskan.

Pendarahan hebat masih terus terjadi dari rahim Reni setiap hari. Reni hanya bisa bersabar dan pasrah atas takdir yang telah Allah Swt tetapkan pada dirinya. Pagi itu, Reni tengah berada di dapur untuk membuat masakan ringan. Tiba-tiba terasa olehnya ada sesuatu yang tidak beres di perutnya dan ia pun ingin pergi ke toilet. Rasa ingin buang air itu seperti tak terkendali ... Hingga Reni harus berlari sebab khawatir ia tak kuasa menahannya.

Atas izin Allah Swt ia kini sudah berada di kamar mandi. Namun hanya pakaian luar saja yang sempat ia buka, sedangkan pakaian dalam tak sempat ia tanggalkan. Rupanya ada segumpal daging penuh darah yang keluar dari qubul Reni dan ternyata ia tidak mau buang air. Segumpal daging penuh darah itulah rupanya yang membuat Reni terdesak untuk buang air.

Merasa aneh dengan segumpal daging itu, maka Reni mengambil sebuah kantong plastik kecil dan memasukkannya ke dalam kantong tersebut. Reni berpikir bahwa ia harus menanyakannya kepada dokter Yusfa tentang benda aneh ini.

Pagi itu adalah jadwal Reni berkonsultasi dengan dokter Yusfa. Ia seperti biasa pergi ke Balikpapan didampingi oleh suaminya. Konsultasi kali itu, seperti biasa tidak memberikan perkembangan ke arah positif sama sekali. Hampir saja Reni putus asa dengan keadaan ini.

Namun tiba-tiba ia teringat akan kejadian aneh kemarin pagi. Lalu ia pun merogohkan tangannya ke dalam tas dan mencari-cari plastik kecil berisi segumpal daging penuh darah. Ia keluarkan plastik kecil itu dan ia sodorkan kepada dokter Yusfa. Kejadian aneh kemarin pagi itu diceritakan oleh Reni kepada dokter Yusfa.

Dokter Yusfa menerima plastik berisikan benda aneh itu. Dahinya berkerut tanda bahwa ia berpikir keras tentang benda ini. Dan beliau pun berkata, "Ibu dan bapak mohon tunggu sebentar di sini. Saya akan pergi ke laboratorium untuk memeriksakan hal ini!"

Saat dokter Yusfa pergi meninggalkan ruangannya, Reni dan suami hanya berharap bahwa dokter Yusfa akan datang membawa sebuah berita gembira untuk mereka.

Kira-kira 20 menit kemudian dokter Yusfa datang sambil berlari. Ya berlari, bukan berjalan! Begitu pintu terbuka dokter pun berteriak dengan nada keras, "Alhamdulillah bu Reni.... Alhamdulillah. ...!!! Saya baru mengerti rupanya pendarahan selama ini disebabkan kanker rahim yang ibu alami... dan benda ini adalah kanker rahim tersebut. Cuma saya hanya mau bertanya bagaimana cara kanker ini bisa gugur dengan sendirinya.. .?!"

Subhanalllah. ... rupanya penyebab pendarahan hebat selama ini adalah sebuah kanker yang tidak dapat terdeteksi. Pertanyaan terakhir dari dokter Yusfa tak mampu dijawab langsung oleh Reni. Namun Reni hanya mampu bersyukur kepada Allah bahwa akhirnya pertolongan itu datang juga untuknya setelah penantian yang cukup lama. Akhirnya pendarahan pun terhenti begitu saja, dan rupanya pertolongan Allah Swt tiba setelah Reni bersedekah dengan sejumlah harta yang sudah ia cita-citakan.

"Sembuhkan penyakit kalian dengan cara sedekah. Lindungi harta yang kalian miliki dengan zakat." HR. Baihaqi

Sedekah sungguh sebuah perkara yang mengagumkan. Apakah anda pernah mengalaminya?

Semoga bermanfaat bagi yang membacanya .....
.... Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan.

Kisah Sedekah Rasulullah & Fatimah

Seperti biasanya siang itu matahari memanggang kota Makkah dengan amat terik.
Hari itu, Rasulullah baru saja berjama’ah sholat Dhuhur bersama para sahabat.
Sesaat mereka selesai membaca dzikir, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari shaf paling belakang.
Dengan merunduk-runduk ia melangkahi beberapa sof, langsung duduk dibelakang Rasulullah.
Bau anyir peluh di tubuhnya menyebar..

Tubuh lelaki tua itu, kurus, ceking dan kumuh penuh debu.
Kumis dan jambangnya lebar, rambutnya gondrong tak terurus.
Dengan terbata-bata, lelaki tua itu memohon kepada Rasulullah,

“Asssalamu’alaikum.. Yaa Rasulullah…. Sudah beberapa hari ini saya kelaparan, Tubuhku hampir telanjang karena hanya kain selembar dan compang-camping ini yang kupakai.
Saya datang dari pedusunan, nun jauh di puncak bukit sana.
Saya lapar dan capek..
Karena itu maaf ya Rasulullah, saya tak bisa ikut serta sholat berjama’ah karena tidak mampu menutup aurat.
Adakah sesuap gandum yang bisa mengganjal perut dan selembar kain penutup aurat ?.”

Sebenarnya Rasulullah sangat iba melihat keadaan orang itu.
Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya gemetar memegang tongkatnya.
Tetapi apa mau di kata, beliau tidak sedang tidak punya apa-apa yang bisa diberikan kepadanya.
“Siapakah engkau, wahai saudaraku ?” Tanya Rasulullah dengan lembut sambil menjabat tangannya, sementara telapak kirinya menepuk pundak musafir yang kelaparan itu.
“Nama tidaklah penting, ya Rasulullah.
Tetapi saya adalah sorang Arabi, orang dusun yang sangat miskin.
Saya sangat merindukan bisa bertemu dengan Engkau, wahai kekasih ALLAH..
Apalagi jika Engkau bersedia mengenyangkan perut saya dan membantu menutup autrat saya hingga saya bisa kembali sholat,” jawab lelaki tua itu terbata…

Tubuhnya gemetar..
Rasulullaah sangat terharu.
Lalu sabdanya. “ Sayang sekali, wahai saudaraku.., saya sendiri saat ini juga tidak punya apa-apa seperti hal nya engkau. Tetapi orang yang menunjukkan kebaikan, sesungguhnya sama saja pahalanya dengan orang yang berbuat kebaikan..
Karena itu saya sarankan agar saudaraku datang kepada orang yang di cintai ALLAH dan Rasul NYA, yang lebih mementingkan ALLAH ketimbang dirinya sendiri.
Rumahnya sangat dekat dengan rumahku, (yang dimaksud ialah Fatimah az-Zuhra, putrid Rasulullah), mungkin ada sesuatu yang bisa diberikan kepadanya sebagai sedekah.”
Dengan diantar oleh Bilal bin Robbah, bekas budak belian berkulit hitam, berangkatlah musafir tua itu kerumah Fatimah.
Siang itu, kebetulan Fatimah ada dirumah, yang seperti hak nya rumah Rasulullaah, sangat sederhana.
Dengan sangat santun, lelaki itu berkata, “Assalamu’alaikum, wahai putri Rasulullah,”
Suaranya serak parau, tubuhnya gemetar, hampir saja jatuh terkulai.

“Wa’alaikumussalam, Siapakah kakek ?,
Adakah sesuatu yang dapat saya Bantu ?”
Dengan penuh harap, sementara kedua bola matanya berkaca-kaca,
Badui Arab itu menceritakan keadaan dirinya, sama seperti yang baru saja ia ceritakan kepada Rasulullah..
Persis, tak kurang tak lebih.
Mendengar cerita mengharukan itu, Fatimah bingung…
Ia tak berdaya, Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk di sedekahkan.
Padahal selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata.
Tetapi hatinya tak tega membiarkan lelaki tua dan miskin itu tetap kelaparan sementara tubuhnya hampir-hampir tak tertutup.

Setelah mencari-cari sesuatu disekeliling rumahnya yang sempit itu, akhirnya Fatimah memberikan satu-satunya alas tidur miliknya yang biasa di pakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain.
Dengan ikhlas, ia pun menyerahkan kepada sang tamu, musafir tadi.
Tentu saja si Badui Arabi itu terheran-heran.
Ia butuh makanan karena berhari-hari perutnya keroncongan.
Ia pun juga hampir telanjang karena sudah lama pakaiannya hanya selembar kain kumal yang sudah compang-camping.

“Maaf Wahai putri Rasulullaah yang di cintai ALLAH.
Saya kemari karena lapar dan mengharapkan selembar kain penutup aurat.
Tapi yang engkau berikan hanya ini.. Apa yang bisa saya perbuat dengan selembar kulit kambing ini ?” kata kakek itu dengan memelas.
Fatimah pun malu bukan main…
Ia bertambah bingung…

Ia kembali masuk kedalam rumahnya,
Matanya mencari-cari lagi sesuatu yang barangkali dapat ia sumbangkan kepada fakir miskin itu,
Tetapi sungguh, tak ada satu pun barang atau makanan yang layak untuk diberikan.
Ia bertanya-tanya.., mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku ?? Padahal ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau.

Sesudah merenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutholib, bibinya.
Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pemimpin umat.
Barang itu adalah sebuah kalung emas.
Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu dengan rasa ikhlas kalung kesayangan itu Ia berikan kepada si Badui Arabi.
Dengan senyum ramah, Fatimah pun menyerahkannya.
“Ambillah kalung ini, kakek.. Inilah satu-satunya benda berharga yang sempat saya miliki dan layak saya berikan pada kakek.
Ambillah, saya mengikhlaskannya.. Mudah-mudahan ALLAH Subhanahu wa ta’ala berkenan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih berharga.”. katanya dengan lembut tapi penuh hormat.
Nada bicara wanita terhormat itu sangat menyentuh hati.

Orang itu terbelalak melihat benda yang kini di genggamnya.
Begitu indah, pasti mahal harganya.
Dengan suka cita dan wajah berseri, orang itu pun kembali menghadap Rasulullah.
Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah.
Ia pun menceritakan betapa Fatimah dengan ramah dan lembut tetapi penuh hormat memberinya seuntai kalung emas yang tak ternilai harganya.

Mendengar cerita orang tua itu, Rasulullah tak mampu menahan airmatanya tang meleleh satu demi satu sambil beliau berdoa,
“Semoga ALLAH membalas keikhlasannya,”

Diantara jama’ah yang ada pada saat itu terdapat salah satu sahabat Rasulullah yang cukup mampu, Abdurrahman bin Auf.
Melihat dan mendengar cerita kakek musafir itu, Abdurrohman pun berkata, “Ya Rasulullah.., bolehkah saya membeli kalung itu ?”
Sambil menyeka kedua belah pipinya yang basah oleh air mata, Rasulullah pun menjawab,
“Belilah, jika engkau bersedia.”
Abdurrohman pun kemudian mendekati Badui Arab yang menimang-nmang kalung itu.
“Pak, berapa kalung itu mau kamu jual ?” tanyanya kepada musafir itu.
Kakek itu menoleh kepada Rasulullah,
“Bolehkah saya jual ya Rasul ?”
“ Silahkan, kalung itu milikmu” sahut Rasulullah..
Orang itu lantas berkata kepada Abdurrahman bin Auf,
“Seharga beberapa potong roti dan daging yang bisa sekedar mengenyangkan perutku. Tetapi kalau bisa tambahkanlah dengan secarik kain penutup aurat agar saya bisa menghadap ALLAH dengan sopan dan bersih, serta beberapa keping dinar agar saya bisa pulang kampung,” Jawab si Badui.
“Baiklah, Kalung itu saya beli dengan 20 dinar dan 100 dirham.
Selain itu saya tambah dengan roti dan daging secukupnya, Saya juga akan memberi pakaian serta seekor unta agar engkau bisa pulang kembali ke keluargamu di dusun,” kata Abdurrahman lagi.
“Alangkah baik budimu. Saya terima tawaranmu,” ujar orang tua itu sembari melangkah menjabat tangan Abdurrahman.

Abdurrohman pun mengantar musafir itu mengambil semua yang di janjikan di rumahnya.
Kini, musafir tua yang dekil itu bersemangat dan berseri-seri .
Ia sudah kenyang, tubuhnya bersih.
Dengan pakaian yang rapi, ia mengendarai onta yang sehat.

“ Bagaimana keadaanmu sekarang, saudaraku ?” Tanya Rasulullah.
“Alhamdulillaah, Wahai kekasih ALLAH, Saya telah mendapatkan yang lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya merasa telah menjadi orang kaya.”
Rasulullah menjawab, “Terima kasih kepada ALLAH dan Rasul NYA harus di awali dengan berterima kasih kepada yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah.”

Kontan, orang tua itu pun mengangkat kedua tangannya ke atas, “Ya, ALLAH.. Aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan sepadan. Karena itu hamba memohon kepada-MU, berilah Fatimah balasan dari hadirat-MU, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbesit di hati, yakni surga-MU, Jannatun Na’im.”
Rasulullah menyambut do’a itu dengan “aamiin” seraya tersenyum ceria.

Beberapa hari kemudian, budak Abdurrohman bin Auf bernama Sahm datang menghadap Rasulullah dengan membawa kalung yang di beli dari orang tua itu.
“Ya Rasulullah, “ ujar Sahm, “ Saya datang kemari di perintah Tuan Abdurrohman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu”
Rasulullah tertawa, “ Kuterima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu kerumah Fatimah, anakku.
Kalung ini tolong serahkan kepadanya, Juga dirimu kuberikan untuk Fatimah.”
Sahm lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasulullah untuknya.
Fatimah dengan lega menerima dan menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Sahm,
“Engkau sekarang telah menjadi hakku, Karena itu engkau ku bebaskan.
Sejak hari ini engkau menjadi orang yang merdeka.”
Sahm tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, “Mengapa engkau tertawa ?”
Bekas budak itu menjawab, “Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri Rasulullah, namun karena keikhlasan , kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini membebaskan aku menjadi orang yang merdeka”….


Inilah bukti, bahwa sedekah takkan mengurangi harta benda kita…..justru sebaliknya, Allah SWT akan menggantinya dengan sesuatu yg lebih baik lagi

tukang sapu jadi milyarder

Musim haji tahun 2012 baru saja berlalu. Seperti biasanya, setiap kali
musim haji selalu saja memunculkan kisah-kisah menakjubkan. Selalu ada
cerita yang mengharukan, penuh hikmah dan menjadi pelajaran bagi umat
manusia.

Di antara kisah nyata yang terjadi di musim haji tahun 2012 ini adalah
kisah seorang tukang sapu di kota Mekkah yang mendadak kaya menjadi
seorang milyuner. Bagaimana ceritanya? Simak kisah nyatanya seperti
yang diangkat di koran al-Sabaq terbiatan Saudi Arabia tanggal 17
Dzhuhjjah lalu (02/11/2012). (Kisah ini sudah kami edit seperlunya
tanpa mengurangi inti dan substansi cerita).


Syahdan, seorang pria bernama Marimir Husain Jihar tengah menyapu
jalanan kota Mekkah yang penuh debu. Ia membersihkan jalanan kota suci
ini dari kotoran dan sampah-sampah yang dibuang manusia atau yang
diterbangkan angin sepanjang waktu.

Sudah 5 tahun, pekerja imigran asal Bangladesh itu melakoni pekerjaan
bersahaja tersebut, pekerjaan yang dipandang sebelah mata orang orang
lain. Di Arab Saudi, orang Bangladehs sering disebut sebagai
"Benggali". Orang Indonesia pun memanggil mereka dengan sebutan
demikian.

Rekan-rekan sekerja Marimir tidak pernah tahu asal-usul marimir, sebab
ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan) orang Benggali yang menjadi
buruh kasar di negeri Haramain ini.

Sampai pada suatu hari di musim haji 2012. Ketika Marimir asyik
menyapu jalanan di sekitar wilayah Tan'im, tempat di mana orang-orang
akan memulai (miqat) ihram untuk Umrah, suatu kejadian tak terduga
terjadi.

Seorang pria tua berteriak dari seberang jalan memanggil nama Marimir.
Pria itu berpakaian Ihram, terlihat hendak melaksanakan ihram untuk
Umrah. Dari postur tubuhnya, pria tua itu jelas berkebangsaan
Bangladeh.

"Marimir…! Marimir…! Marimir….!" Teriak pria tua berkali-kali dari
seberang jalan. Namun karena banyaknya manusia dan lalu linta yang
sibuk, Marimir tidak mendengarnya.

"Marimir…! Marimir…! Marimir…!" Pria tua itu kembali berteriak. Kali
ini ia berlari ke arah Marimir menghadang jalan.

Aksi pria tua itu mengundang perhatian banyak orang di Tan'im,
termasuk dari rekan-rekan pria tua itu sendiri. Mereka heran,
bagaimana ia mengenali seorang penyapu jalan di kota suci ini.

Tanpa peduli, ia terus berlari tanpa menghiraukan mobil-mobil yang
melaju kencang. Orang-orang berteriak memperingatkannya, karena
aksinya itu mengganggu lalu lintas.

"Marimir…!". Ujar si pria tua tanpa henti.

Kali ini Marimir mendengar. Ia menoleh, dilhatnya seorang yang sudah
tua berlari ke arahnya. Ia pun heran, dari mana orang itu mengetahui
namanya.

Pria itu semakin mendekat. Dan semakin dekat. Ketika sudah jelas
baginya siapa yang datang, ia pun terperangah. Alangkah kagetnya
Marimir, ia seakan tak percaya apa yang dilihatnya.

Ternyata pria tua itu adalah abang kandungnya sendiri….

Dengan berurai air mata, si pria tua itu menghampiri Marimir yang
penuh debu, lantas ia memeluk pemuda itu dengan erat sambil menangis.

Aksi jemaah haji tersebut mengundang perhatian banyak orang. Meski
tidak mengerti, mereka mengabadikan momen penuh haru itu dengan
kamera. Setelah itu, si pria tua bercerita kepada orang-orang yang
mengitari mereka penuh keharuan.

Ia menceritakan bahwa tukang sapu itu adalah adik kandungnya sendiri,
mereka adalah dua bersaudara yang sudah lebih 5 tahun tidak bertemu.

Kisah perpisahan mereka dimulai ketika orangtua mereka meninggal dunia
beberapa tahun sebelumnya. Ayah mereka meninggalkan harta warisan yang
sangat banyak, mencapai 17 juta Riyal (sekitar Rp. 42,5 Milyar).
Bagaimana tidak, keluarganya adalah keturunan bangsawan, dan salah
satu kakek mereka adalah mantan menteri di Bangladesh.

Tapi saudara tuanya itu berbuat serakah. Ia tidak mau membagi harta
peninggalan itu dengan adiknya. Beberapa kali si adik meminta
pembagian warisan, tapi ia tidak mau. Bahkan, sang adik pernah
dijebloskannya ke penjara karena menuntut haknya!

Karena putus asa, akhirnya sang adik pergi meninggalkan Bangladeh. Ia
pun menjadi pekerja imigran di Arab Saudi. Hingga bertahun-tahun
lamanya. 5 tahun terakhir, ia menjadi tukang sapu di Mekkah.

Selepas kepergian adiknya itu, saudara tuanya pun diserang penyakit
kanker ganas.

"Ini hukuman Allah atas kezaliman saya…". Kenang haji tua itu sambil
menangis. Dan sejak itulah ia insyaf atas perbuatan serakahnya.

Bertahun-tahun pula lamanya, ia berusaha mencari jejak sang adik. Ia
bertanya kepada kawan-kawan adiknya, tapi tak satu pun yang tahu. Ia
pun sudah membuat sayembara, siapa yang mengetahui alamat adiknya akan
diberi imbalan yang besar.

Namun kabar tak kunjung datang. Sang adik entah di mana rimbanya.
Sementara penyakitnya semakin parah, hingga ia mengira umurnya takkan
lama lagi.

Hingga datang musim haji tahun 2012. Ketika ia hendak pulang ke tanah
air, ia pun melaksanakan umrah terlebih dahulu. Ia bersama
rombongannya pun berangkat ke Tan'im, miqat di mana orang Mekkah
memulai umrah.

Dan di sanalah keajaiban itu terjadi. Di tempat inilah Allah Swt
mempertemukannya dengan adiknya yang selama ini ia cari. Dilihatnya
seorang pria muda tengah menyapu jalanan, dan ternyata itu adalah
saudara kandungnya.

Saat pertemuan itu, saudara tua itu meminta maaf kepada sang adik atas
kezalimannya selama ini. Karena keserakahannya, sang adik hidup
sengsara dan terlunta-lunta sebagai tukang sapu di negeri orang.

Ia pun mengajak adiknya pulang. Ia sudah membagi harta peninggalan
orangtua mereka seadil-adilnya. Bagian untuk sang adik sudah ia
sisihkan, dan akan ia berikan tanpa mengambilnya sedikitpun, jumlahnya
milyaran rupiah ditambah properti yang sangat banyak.

Di tempat yang suci itu, sang adik memaafkan abangnya. Ia sama sekali
tidak menaruh dendam. Bahkan dirinya merasa bahagia bisa tinggal di
tanah suci ini. Di sini, ia menghabiskan waktu untuk bekerja dan
menghafal al-Qur'an.

Kepada hadirin yang berkerumun di sekitar mereka, tukang sapu yang
jadi milyuner itu mengatakan: "Sungguh ini merupakan pelajaran yang
besar dalam hidup saya. Saya sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi
orang yang teraniaya. Karena itu, saya berjanji tidak akan menganiaya
siapa pun. Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya, dan
diharamkannya kezaliman itu atas hamba-hambaNya".

Kisah mengharukan itu menjadi buah bibir jemaah haji. Seorang penjual
makanan cepat saji di kota Mekkah mengatakan kepada wartawan Sabg:

"Saya sering bersedekah makanan kepada tukang sapu itu, tanpa saya
pernah tahu ternyata dia adalah seorang milyuner".

sumber cerita : http://putramelayu.web.id/

Selasa, 01 Januari 2013

Sedekah yang mengharukan

Kisah di bawah ini adalah kisah yang didapat dari milis alumni Jerman,
atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana .
Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur
hidup.Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan
kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi.
Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan
setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling."
Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya
kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi
mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan
didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan
selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini
sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui
suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman
kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada di sekitar
kampus.



Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan
masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang
menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih
kosong.Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani,
mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan
orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari
antrian.Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan
melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah
saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata
tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat
dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang
"tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam,
tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia
meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.Ia
menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh
saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang
memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi
mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya
merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian
itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja
sudah sampai didepan counter. Ketika wanita muda di counter menanyakan
kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki
ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi
saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya
itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran
disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh,
maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya
ingin menghangatkan badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat
terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka
mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang
hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan,
saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga
sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan'
saya. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya
untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya
tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan
saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke
meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan
lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua
lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu
di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak
tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini
telah saya pesan untuk kalian berdua." Kembali mata biru itu menatap
dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia
hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya
berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,
Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu
ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."
Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan
memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya
merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis
ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami
dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil
tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan
dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi
diriku dan anak-anakku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat
dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari,bahwa hanya
karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan'
untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat
membutuhkan. Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu
yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu
lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar
ingin 'berjabat tangan' dengan kami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan
berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami
semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan
olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami." Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum.
Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat
kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan
bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum,
lalu melambai-lambaikkan tangannya kearah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya
lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar
'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu
menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT
dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah
dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya
kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya
saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan
berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?"
dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk
membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan
dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi.
Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan
ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah
ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga
para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya
datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.Diakhir
pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan
mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya
."Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa
'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk
menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku,
dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai
mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA
SYARAT." Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa
diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat
membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran
bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT
HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG
BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA! Jika anda berpikir bahwa
cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada
orang-orang terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai
anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak
hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang
sedang membutuhkan uluran tangannya

Sedekah Uang Terakhir

Cerita ini dialami oleh guru agama saya. Saya ingat betul dia
menceritakan kisah ini saat dia mengajar mata pelajaran agama Islam di
kelas saya (SMA) sekitar tahun 1992. Cerita ini tidak pernah saya
lupakan karena inilah cerita pertama yang saya dengar tentang balasan
nyata sebuah sedekah.
Guru agama saya sewaktu masih kuliah, hidupnya sangat pas-pasan. Untuk
makan harus dicukup-cukupkan agar dia bisa membayar biaya kuliah dan
tempat kos. Maklum, orang tuanya di kampung adalah keluarga yang
sederhana.

Karena tekad yang kuatlah guru agama saya berani meneruskan kuliah
agar dia bisa menjadi seorang sarjana agama Islam waktu itu. Modal
utama dia hanyalah keyakinan bahwa Allah pasti akan menolong umatnya
yang memang berniat ingin berjuang di jalan Islam. Memang benar,
keyakinan itu terjawab. Banyak sekali rejeki dari mengajar ngaji
panggilan yang dia dapatkan selama kuliah. Bayaran yang dia terima
besar karena rata-rata yang memakai jasa dia adalah orang-orang kaya.



Suatu ketika, guru saya kehabisan uang. Di saku celananya hanya
tersisa uang untuk sekali makan dan naik kendaraan ke salah satu
muridnya. Hari itu adalah jadwal mengajar di salah satu anak pejabat
dan biasanya tanggal itu waktunya orang tuanya ngasih amplop untuk
jasa mengajar dia. Setibanya di rumah muridnya, dia hanya ditemui
pembantu sang pejabat yang mengatakan semua keluarga ke luar kota
karena ada sesuatu yang sangat penting.

Dengan lemas, guru saya pulang dengan jalan kaki. Karena jika dia naik
kendaraan, berarti dia tidak makan nanti sorenya, karena uang yang ada
di saku cuma cukup untuk sekali makan. Saat berjalan pulang, dia
bertemu dengan nenek tua yang kelaparan. Dia kasihan. Dengan mengucap
bismillah dia memberikan uang terakhirnya untuk nenek tersebut. Dia
berkeyakinan, Allah pasti akan menolong dia saat dia lapar nanti,
karena saat ini yang paling membutuhkan adalah nenek tua tersebut.

Rupanya harapan guru saya langsung dikabulkan Allah. Baru beberapa
langkah, dia menemukan uang di pinggir jalan yang cukup untuk dia
makan selama satu bulan. Beberapa hari kemudian, pak pejabat menitip
kabar pada kawannya untuk segera ke rumah mengambil honor mengajar
ngaji. Pak pejabat memberikan 3 kali lipat honor ngaji guru saya
karena dia baru mendapatkan rejeki. Bukan hanya itu, pak pejabat itu
juga memberi referensi untuk mengajar ngaji di tempat temannya yang
lain.

Dengan berlinang air mata, guru saya berucap itulah balasan sedekah
yang diberikan oleh Allah pada umatnya yang benar-benar ikhlas. Dia
mengingatkan pada kami sekelas untuk senantiasa bersedekah, karena
bisa membersihkan harta dan selalu dekat denganNya. Hikmah dari
kejadian ini adalah, dengan keiklasan dan keyakinan akan
pertolonganNya, serta doa yang tiada henti, pasti rejeki akan mengalir
seperti air dalam kehidupan kita.