Senin, 20 Maret 2017

Jalan tak berujung

SEBISA mungkin aku menghindari keluar rumah saat matahari mulai beranjak ke arah barat. Bukan karena takut dengan sinar matahari yang menyengat membakar bumi. Aku takut jika harus berpapasan dengan rombongan para ibu yang hendak berangkat ke masjid untuk mengaji. Bukan takut, lebih tepatnya ada perasaan malu yang menghinggapi relung hatiku.

Saat meletakkan pakaian kering di kamar, aku mendengar suara tawa kecil dari halaman rumah. Karena tergesa-gesa mengangkat pakaian, aku jadi lupa mengunci pintu dan makhluk kecil yang menjadi asuhanku sudah berada di luar rumah. Aku mengambil piring berisi nasi yang ada di atas meja.

Dengan terseok-seok, aku mencoba mengejar Azka, cucuku yang berlari kian kemari seperti anak kijang. Aku harus bergegas menangkapnya sebelum ia berlari ke jalan yang penuh dengan kendaraan bermotor yang bisa membahayakan keselamatannya. Bocah empat tahun itu amat lincah dan gesit berlari ke sana ke mari, ia seakan tidak peduli dengan aku yang sudah kepayahan mengejarnya.

"Nek, cini" Azka melambaikan tangannya menyuruhku mendekatinya.
Aku menggelengkan kepala. Aku sudah tidak kuat lagi mengejarnya. Nafasku sudah tersengal-sengal membuat dada terasa sesak dan pengap.
"Yuk, kita makan di dalam aja. Nanti nenek puterin film Spongebob!" rayuku sambil menuntun Azka untuk masuk ke dalam rumah.

Saat akan masuk, serombongan ibu-ibu yang berpakaian putih  lewat di depan rumah.
"Ayo, Bu Halimah, ngaji ke masjid!"ajak seorang ibu padaku.
Dengan muka memerah, aku menggeleng kepala. "Maaf Bu, saya tidak bisa. Harus momong cucu," kataku dengan suara pelan.
Ibu-ibu itu pun mengangguk, entah berusaha memaklumi memahami alasanku atau cuma karena iba.

"Aduh, kasihan sekali. Sudah tua tapi masih saja disibukkan urusan dunia. Momong cucu. Seharusnya lebih memikirkan persiapan untuk akhirat nanti. " Begitu komentar sinis yang sempat kudengar sebelum rombongan ibu-ibu  pengajian itu berlalu dari hadapanku.

Hatiku pun seperti tersengat mendengar komentar itu. Ada perih yang mengiris kalbu. Aku tidak bisa marah karena komentar tadi mengandung kebenaran. Ya, di usia yang menginjak angka 60 tahun seharusnya aku lebih menyibukkan diri dengan urusan bekal akhirat. Kalau waktuku hidup didunia seperti halnya nabi yang hanya 63 tahun, itu berarti ada masa tiga tahun untuk berjibaku menambah berat pundi-pundi amal kebaikan. Bukan berkubang dengan kencing cucuku.

"Nek!" suara Azka yang kecil dan nyaring membuatku harus menghentikan kesedihan yang kurasakan. Aku tidak ingin menulari kesedihan kepada cucuku.
Aku menggenggam tangan Azka dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Aku terkesiap melihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah tiga. Masya Allah, Aku belum melaksanakan salat dzuhur! Sementara itu Natan yang baru bangun tidur menangis menjerit-jerit minta digendong.
***

Impianku sangat sederhana, ingin menikmati masa tua dengan memperbanyak ibadah. Aku telah menghantarkan keempat anakku ke pintu gerbang pernikahan. Anak-anakku menikah dengan pilihannya yang telah kuberi restu sepenuh hati dan mereka pun berbahagia dengan pilihannya.

Aku juga telah membekali mereka dengan pendidikan sampai ke tingkat universitas agar mereka bisa menjalani hidup. Pengabdianku sebagai seorang istri juga kutunaikan dengan tuntas hingga mendampingi suamiku menghadap Sang Khalik lima tahun yang silam. Pengabdian itu terus kulakukan dengan selalu menyelipkan doa-doa terbaik untuk suamiku dalam setiap sholat dan dialog dengan Allah saat malam-malam sepi yang kulalui sendiri.

Kehadiran cucu membawa bahagia  yang tak terkira. Tapi juga menjadi awal pengabdian baru untukku. Setelah tiga bulan melahirkan Azka, anakku Teti harus kembali bekerja. Bersama suaminya ia berkeliling dari satu agen babysitter ke agen yang lain untuk mencari sosok yang tepat untuk merawat Azka. Belum genap usia Azka 6 bulan, sudah hampir selusin ia bergonta-ganti babysitter.

Tidak ada yang benar-benar punya hati untuk merawat bayi. Semua hanya berorientasi mencari uang. Akibatnya, berulangkali Azka harus masuk ke rumah sakit karena babysitter-nya teledor mengasuh. Mulai dari diare karena pengasuhnya lupa mensterilkan botol dot hingga Azka terjatuh saat digendong.

Dengan muka sembab, Teti datang kepadaku sambil membawa Azka. Aku masih ingat saat ia berkata,"Ibu, aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku minta tolong sama ibu agar mau mengasuh Azka saat aku bekerja sampai aku mendapat pengasuh yang tepat."

Karena sayangku yang besar pada Teti, aku menganggukkan kepala. Lagian, aku juga tidak rela melihat cucuku diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Aku pun mengundurkan diri dari beberapa pengajian. Untuk beberapa bulan saja, demikian hiburku. Toh, kalau Azka sudah dapat pengasuh maka aku bisa aktif lagi di pengajian. Dan Aku hanya akan mengawasi saja Azka diasuh oleh babysitter. Ibu mertua Teti sudah sakit-sakitan sehingga tidak bisa diminta tolong untuk mengasuh Azka.

Ternyata yang katanya hanya beberapa bulan saja menjadi bertahun-tahun. Bukan karena Teti tidak berusaha mencari pengasuh, ia terus berusaha tapi belum menemukan babysitter yang sesuai dengan yang diinginkannya. Kalaupun ada yang terlatih, biasanya meminta gaji yang tinggi. Teti dan suaminya tidak sanggup karena mereka sudah mulai mencicil sebuah rumah mungil dan motor.
Setiap pagi, Azka diantar ke rumahku dan sore harinya ia baru dijemput. Jika Teti harus lembur, Azka dibiarkan menginap. Ada Azka di rumah, aku merasa sangat terhibur. Hariku lebih berwarna. Tidak muram sepeninggal suamiku. Aku merasa mendapat semangat untuk hidup lagi. Ada alasan kenapa aku harus tetap hidup didunia ini lagi. Aku merasa dibutuhkan lagi.

Perasaan dibutuhkan sudah lama tidak kurasakan. Ketika anak-anakku beranjak besar, mereka mempunyai dunia sendiri dan tidak terlalu membutuhkan diriku lagi. Hanya ketika mereka ada masalah atau kesulitan, baru mereka datang kepadaku. Membutuhkanku untuk membasuh kegundahan mereka.

Dulu aku mengasuh keempat anakku sendiri tanpa bantuan pengasuh ataupun orangtua. Aku mendampingi anak-anakku dalam setiap momen kehidupannya. Aku yang menuntun mereka ketika langkah kecilnya belajar menapak bumi. Aku juga yang mengajari mereka berbicara, mengajari mengunyah makanan padat pertamanya. Saat itu aku masih muda. Tenagaku cukup besar untuk mengasuh anak-anakku.

Sekarang tubuhku tidak sekuat dulu. Aku tidak bisa mengimbangi kelincahan Azka yang aktif bergerak seperti ulat bulu mengeksplorasi rasa ingin tahunya yang besar. Seolah-olah akan menaklukkan dunia. Sementara aku hanya punya tenaga sisa yang terkadang untuk menopang diri sendiri saja sudah kepayahan. Cuma karena tidak ingin membuat anak-anakku khawatir maka aku selalu berusaha tampil gagah dan sehat. Mengasuh membuatku tidak punya banyak waktu untuk beribadah. Saat azan berkumandang aku masih sibuk mengurusi Azka dengan segala tetek bengeknya.

Lupakan sholat sunah, bisa sholat lima waktupun sudah bersyukur. Aku selalu sholat di akhir waktu dan itupun harus terburu-buru karena Azka sibuk mengganggu kekhusyukan dengan tingkahnya yang konyol. Setelah itu hanya doa pendek yang bisa kulantunkan. Tidak ada zikir ataupun puji-pujian yang sempat keluar dari mulutku. Alquran pun sudah dipenuhi debu tebal menandakan sudah lama aku tidak membacanya. Aku disibukkan berpacu dengan waktu mengasuh Azka.

Hal itu yang membuat aku sering menangis dalam hati. Aku sudah tua tapi amalku sangat sedikit. Ibadahku kurang dan berantakan. Aku pernah mengutarakan keinginanku pada Teti agar berhenti saja bekerja dan fokus mengasuh anak. Biarlah urusan mencari nafkah menjadi tanggung jawab suaminya. Teti pun mencoba menuruti saranku, sebelum memutuskan untuk resign, Teti mengambil cuti panjang.

Belum ada seminggu ia mengasuh Azka, Teti sudah datang ke rumah. Mukanya kusut dan acak-acakan. Azka juga badannya biru-biru bekas kena cubitan. "Ibu, lebih baik aku disuruh kerja apa saja asal jangan disuruh mengasuh Azka. Aku tidak sanggup. Aku jadi stres dibuatnya," keluh Teti.

"Apa karena itu Azka sering kau cubit?"
"Azka tidak nurut sama omonganku, makanya aku sering dibuat jengkel dan…."
"Azka kena cubit?" potongku tajam.
Teti hanya terdiam menunduk.
Aku heran dengan orangtua jaman sekarang yang gampang sekali melayangkan pukulan atau cubitan kepada anaknya. Sedikit saja anak melakukan kesalahan, seribu cacian dan makian akan keluar dari mulut orangtua yang akan digenapi dengan cubitan atau pukulan.

Seingatku, aku tidak pernah melayangkan pukulan kepada anak-anakku. Bagiku menyakiti mereka sama saja menyakiti diriku karena mereka berasal dari rahimku.
Aku tidak ingin menjadikan anakku orang yang menyakiti darah dagingnya, makanya aku kembali mengasuh Azka. Ketika Azka berusia tiga tahun, anak keduaku, Toni memberiku cucu lelaki yang sehat dan ganteng, Natan.

Ketika cuti melahirkan menantuku usai, sebelum ia kembali bekerja, ia dan Toni datang ke rumah. Tanpa harus bilangpun aku tahu maksud mereka. Mertua perempuan Toni sudah lama meninggal, sehingga tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk menjaga Natan. Aku sudah bertekad untuk  menolaknya. Aku tidak sanggup jika harus mengasuh dua balita. Biarlah uang pensiun suamiku akan kuberikan pada Toni, untuk membantunya membayar seorang babysitter.

Aku tidak bisa berkata-kata ketika Toni berujar, "Jika Ibu tidak mau mengasuh anakku berarti ibu pilih kasih. Ibu lebih sayang dengan anaknya Mbak Teti ketimbang anakku!"

Dengan berat aku menganggukkan kepala, menyetujui mengasuh Natan. Aku tidak ingin dicap sebagai ibu yang pilih kasih. Aku tidak ingin melukai hati anakku. Dan sholatku pun jadi makin berantakan, jauh dari kata khusyuk.

Ketika kedua cucuku dijemput oleh orangtuanya, aku baru bisa beristirahat sejenak. Di depan cucu dan anak, aku bisa berpura-pura gagah. Tapi saat malam berselimut gelap, aku baru merasakan capek di sekujur tubuh. Badanku seperti remuk, tulang-tulangku seperti tak bertenaga dan mau lepas. Tubuhku yang renta tidak bisa berbohong. Dan tanpa terasa airmata akan menetes dari pelupuk mata. Aku sedih karena tidak punya banyak waktu untuk beribadah, aku juga sedih tidak punya banyak tenaga untuk mengasuh kedua cucuku. Aku tidak bisa menentang kehendak alam, badan yang menua dan tenaga berkurang.

Hanya kasihku yang tidak pernah menua dan berkurang.Kasihku kepada anak dan cucuku selalu ada sepanjang jalan hidupku. Dan selama aku masih bernafas, jalan itu tidak akan pernah berujung.

Senin, 05 Januari 2015

BAB Shalawat Kepada Nabi (Muhamm ad Saw)

Allahumma Shalli Alaa Sayyidina Muhammad Wa alihi Washahbihi Wasallim

1. "Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum'at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum'at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku."
(HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Dalam Kitab Mukasyifal Qulub.
Ada malaikat yang memiliki panjang sayap antara langit dan bumi jika dibentangkan, maka apabila ada or ang yang bershalawat maka malaikat tersebut masuk ke lautan, kemudian keluar dari lautan, setiap tetesan air dari sayapnya Allah jadikan malaikat yang selalu memintakan ampun kepada orang yang bershalawat tersebut.
Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa alihi washahbihi wasallim

3. Disebutkan dalam kitab Ihya , Al-Qirthas dan Al-Maghnam Fil Wirdil A'dham karangan Asy-Syaikh Muhyiddin Ibn An-Nuhhas, sebuah hadist dari Abi Kahil yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda
"Hai, Abu Kahil ! Ketahuilah bahwa barangsiapa bershalawat karena cinta dan rindu kepadaku sebanyak 3x dalam sehari, maka sudah pasti Allah akan mengampunkan dosa-dosanya pada hari itu dan malam itu"

4. Diriwayatkan juga dari Abu Bakar bin Abu 'Ashim dalam Kitab Ash-Shalah juga disebutkan dalam Kitab Syarhul Washiyah
Rasulullah bersabda "Siapa yang bershalawat kepadaku di waktu pagi 10x dan petang 10x maka ia mendapat syafaatku di hari kiamat"

5. "Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum'at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum'at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku."
(HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

6. Hadist Rasulullah Barangsiapa bershalawat kepadaku maka para Malaikat akan bershalawat (memohonkan ampun) untuknya selama dia membacanya. Maka bacalah olehmu sedikit atau sebanyak mungkin. (Syarah Ratib Al Haddad)



berbagai macam shalawat:

1. Shalawat Nurul Anwar Allahumma shalli 'ala nuril anwari wa sirril asrari wa tiryaqil aghyari wa miftahi babil yasari Sayyidina Muhammadinil mukhtari wa alihil athhari wa ashhabihil akhyari 'adada ni'amillahi wa ifdhalih. (Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada cahaya dari segala cahaya, rahasia dari segenap rahasia, penawar duka dan kebingungan, pembuka pintu kemudahan, yakni junjungan kami, Nabi Muhammad saw. yang terpilih, keluarganya yang suci, dan para sahabatnya yang mulia sebanyak hitungan nikmat Allah dan karu-nia-Nya.)

2. Shalawat Fatih
Allahumma shalli wa sallim wa barik 'ala Sayyi-dina Muhammadinil fatihi li-ma ughliqa wal-khatimi li-ma sabaqa, wan-nashiril haqqa bil-haqqi wal-hadi ila shirathikal mustaqim. Shal-lallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa ashhabihi haqqa qadrihi wa miqdarihil 'azhim.

(Ya Allah, limpahkanlah rahmat, keselamatan, dan keberkahan kepadajunjungan kami, Nabi Muhammad saw., yang membuha sesuatuyang tertutup, yang menu-tup sesuatu yang terdahulu, yang menolon.g kebenaran dengan kebenaran, yang memberikan petunjuk pada jalan-Muyang lurus. Semoga Allah memberikan rahmat kepada Nabi Muhammad saw., keluarganya, dan para sahabatnya dengan kekuasaan dan ukuran Allah Yang Mahaagung.)

3. Shalawat Munjiyyat
ALLAAHUMMA SHOLLI 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLAATAN TUNJIINAA BIHAA MIN JAMII 'IL AHWAALI WAL AAFAATI WATAQDHI LANAA BIHAA JAMII 'ALHAAJAATI WATU THOHHIRUNAA BIHAA MIN JAMII 'ISSAYYI-AATI, WATAR FA 'UNAA BIHA 'INDAKA A'LADDAROJAATI WATUBALLIGHUNAA BIHAA AQSHOL GHOOYAATI MINJAMII 'IL KHOIROOTI FIL HAYAATI WABA'DAL MAMAATI INNAKA 'ALAA KULLI SYAI-IN QODIIR"

Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang dengan rahmat itu Engkau akan menyelamatkan kita dari semua keadaan yang mendebarkan dan dari semua cobaan yang dengan rahmat itu Engkau akan mendatangkan kepada kita hajat, Yang dengan rahmat itu Engkau akan membersihkan kita dari semua keburukan/kesalahan. Yang dengan rahmat itu Engkau akan mengangkat kita kepada setinggi-tinggi derajat.Yang dengan rahmat itu pula Engkau akan menyampaikan kita kepada sesempurna-sempurnanya semua maksud dari semua kebaikan pada waktu hidup dan setelah mati, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

4. SHALAWAT IBROHIMIYAH
Allahumma shall! 'ala Sayyidina Muhammadin wa 'ala all Sayyidina Muhammadin ka-ma shal-laita 'ala Sayyidina Ibrahima wa 'ala ali Sayyidina Ibrahlma. Wa-barik 'ala Sayyidina Muhammadin wa 'ala ali Sayyidina Muhammadin ka-mabarakta 'ala Sayyidina Ibrahima wa 'ala ali Sayyidina Ibrahima. Fil-'alamina innaka harnidun majid.

(Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada jujungan kami, Nabi Muhammad saw., dan kepada keluarganya, seba-gaimana Engkau limpahkan rahmat kepada Nabi Ibrohim a.s. dan keluarganya. Berikanlah keberkahan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad saw., dan keluarganya, sebagaimana Engkau limpahkan berkah kepada Nabi Ibrohim dan keluarganya di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha-agung.)

5. Shalawat Tibbil Qulub
Allahumma sholli alaa sayyidina muhammad thibilqulubi wa dawaa ihaa wa afiatil ajsadwa syifaa ihaa wa nuuril absor wa dhiyaa ihaawa alaa alihi wa shohbihi wa baarik wa sallam

(Ya Allah, berilah rahmat ke atas penghulu kami, nabi Muhammad S.A.W. yang dengan berkat baginda, engkau menyembuhkan hati, menjadi penawar dan menyehatkan tubuh juga memberi kesembuhan penyakit serta mengaruniai cahaya penglihatan dan kurniakanlah juga rahmat keberkatan dan kesejahteraan keatas keluarga dan sahabat baginda)

berbagai sumber

Rabu, 15 Oktober 2014

mengubah benci menjadi cinta

Berteman dengan siapapun adalah sesuatu yang menggembirakan. Banyak mutiara hikmah yang berserakan dimanapun justru yang muncul dari orang-orang yang sederhana. Salah satunya penjual sate ayam. Awalnya mengenalnya dibulan suci ramadhan beberapa tahun yang lalu. Orang Madura ini baik dan ramah. Itulah yang membuat dagangan satenya menjadi ramai.

Pada suatu hari dia bertutur bahwa pada saat bulan tertentu seperti bulan ramadhan dirinya bisa kewalahan melayani pembeli. Sampai dia mengajak sanak saudaranya ikut membantunya berjualan, termasuk bapaknya sendiri. Katanya, pada satu sore para sudah banyak pembeli yang mengantri. Bapak dan saudara-saudara sibuk melayani sementara dirinya pulang untuk mengambil lontong dan sate ayam dirumah.

Sekembali ke warung dan pembeli sudah mulai berkurang. Adzan maghrib berkumandang. Sang bapak menghampiri dirinya dan mengatakan kalau kotak uang penjualan hari ini telah hilang diambil orang. Sebagai gantinya bapaknya bersedia bekerja selama ramadhan tidak usah digaji.

Hari telah berlalu, seminggu kemudian. Abis jelang adzan maghrib ada seorang pemuda pesan sate ayam beserta lontong. Bapaknya langsung melayaninya. Orang itu dilayani dengan istimewa, membuat anaknya menjadi heran, kenapa bapak memperlakukan dia sangat istimewa. Mulai dari membakarkan sate, menyiapkan lontongnya, teh hangatnya dengan sangat ramahnya.

“Bapak, siapakah dia? Kenapa bapak melayani dengan sangat istimewa?’
Apa dia pejabat kelurahan?” Katanya penuh keheranan.
“Bukan. Dia adalah yang mengambil kotak uangmu tempo hari.” Jawab bapaknya.

‘Mendengar jawaban bapak seperti itu rasanya darah saya mendidih. Pengen rasanya saya luapkan amarah saya pada orang itu.’ tutur Sang Penjual sate.

‘Tapi bapak saya mencegahnya dengan mengatakan. ‘Jangan kamu luapkan amarahmu. Dia adalah guru sejatimu sebab dari dialah, dirimu bisa belajar mengubah bencimu menjadi Cinta.’ lanjutnyanya, matanya nampak berkaca-kaca, bebarapa kali tangannya mengusap air mata yang yang jatuh dipipinya untuk memahami makna hidup yang diajarkan oleh ayahnya tentang mengubah benci menjadi cinta. Subhanallah..


Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui’ QS. Al Baqarah : 216

Selasa, 20 Mei 2014

KESAKSIAN DUA TETES AIR MATA

 

Alkisah Ahmad bin Fulan hidup dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Suatu malam, setelah seharian tak secuil makanan masuk kedalam perutnya, hatinya gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti perutnya yang keroncongan.

Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai, dan tak ada harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari istrinya yang lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul pemikiran darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya.

Esok harinya, usai shalat shubuh berjamaah dan berdoa, ia menemui sahabatnya Abdullah as-Sayyad. “Wahai Abdullah! Bisakah kau pinjamkan aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini. Aku bermaskud menjual rumahku. Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad.

“Wahai Ahmad. . . ambillah bungkusan ini untuk keluargamu dan pulanglah! Nanti aku akan menyusul kerumahmu membawakan semua kebutuhanmu itu,” jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang kerumah sambil terus merenung untuk menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya, sekadar untuk makan. “Setelah itu, saya akan tinggal dimana,” renung Ahmad.

Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa bungkusan makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya akan tertawa lucu setelah memperoleh air susu. “ Terasa nikmat roti yang dibungkus ini tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat sejatiku,” desah Ahmad.

Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita dengan bayi dalam gendongan menatap iba. “Tuan, berilah kami makanan. Sudah beberapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan, tolonglah. Semoga Allah swt. Merahmati tuan,” ratap ibu itu.

Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita itu. Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas kasihan. Sungguh melas, tak sanggup Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. “Biarlah aku akan mencari makanan lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. “Ini ambillah bu. . . aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya yang lain mungkin aku akan membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya.

Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, “Terima kasih. . .terima kasih tuan. Sungguh tuan telah menolong kami dan semoga Allah membalas budi baik tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan menunduk hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.

Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun. Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.

“Wahai Ahmad kemana saja engkau,” tegur Abdullah tersengal-sengal. “Aku mencarimu kesan-kemari. Aku datang kerumahmu membawakan keperluanmu yang aku janjikan. Namun, ditengah perjalanan aku bertemu dengan saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia bilang ayahmu pernah memberi pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia akan mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas Abdullah. “Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.

Kaget bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya Abdullah. Sungguh ia tak percaya dengan perkataannya itu.

“Benarkah Abdulah, benarkah?” tanya Ahmad ragu-ragu. Maka, ia berlari seperti terbang, pulang kerumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang kaya raya di kotanya…

Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang. Wajahnya pucat. Berapa berat dosa yang dimilikinya. “Apakah amal kebaikan yang dilakukan dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.

Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat, karena harus dipotong dengan riya’ dan kesombongan yang menyertainya.. Demikian seterusnya. Ternyata seluruh amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia lakukan. Ahmad menangis…

Para malaikat bertanya, “Masih adakah amal yang belum ditimbang?” “Masih ada,” kata malaikat yang lain. “Masih ada, yakni dua amalan baik lagi.”

Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada anak yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. “Mana mungkin amalan itu dapat menyeimbangkan dosa-dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk menimbang roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung terangkat. Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan ahmad tetap seimbang. Wajahnya sedikti tenang. Ia gembira, sungguh diluar dugaannya. Namun amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang,” katanya dalam hati.

Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau tetesan air mata ibu anak yatim dinilai dengan pahala untuknya. Ia bersyukur. Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu yang disetarakan dengan amalan baik Ahmad.

Ketika ikan menyentuh timbangan, maka seperti bobot yang sangat berat, timbangan pun segera condong kearah kebaikan. “Dia selamat, dia selamat,” terdengar teriakan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.

“Sekiranya aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak adalah berat roti dan ikan itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya itu yang telah menyelamatkan dirinya. Pada saat itu Ahmad terbangun dari mimpi…

***

Saudara-saudariku, sungguh amal yang ikhlas di tengah kesempitan, bernilai tinggi di mata Allah SWT.

 

Kamis, 24 April 2014

Arti sebuah ketulusan

Saya adalah seorang pramugari biasa dari China Airline, karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton. Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.

Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.

Diantara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya, pada saat itu saya yang berdiri dipintu pesawat menyambut penumpang kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.

Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman, ketika elewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.

Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakan karung tua diatas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.

Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah dipesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang didalam pesawat.

Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet, pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang disebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh dimeja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan dipinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir.

Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan dipinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.

Setelah kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.

Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah ditingkat tiga di Peking. anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal dikota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking, anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya.

Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan dibandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut ditempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh ditempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.

Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? dan meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.

Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa dimata seorang desa menjadi begitu berharga.

Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh didalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri, perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja dilapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya, perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya dimasa datang yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.