Rabu, 20 Januari 2010

Hutang dan Siksa Kubur

 

Kisah ini adalah kisah Sayyid Ali seorang yang mulia alim dan wara'.  Dia adalah putera seorang ulama besar, seorang faqih (seorang 

mujtahid) yang mulia, teladan dalam perjalanan ruhani Al-Amir Sayyid  Hasan bin Al-Amir Sayyid Muhammad Baqir bin Al-Amir Ismail 

Al-Isfahani. Ia berkisah sebagai berikut:

 

Setelah ayahku Allamah (orang yang sangat alim) meninggal, aku tinggal  di Masyhad (Iran), sibuk menuntut ilmu. Sampai sekarang aku tidak 

banyak tahu tentang urasan ayahku secara detail, yang tahu adalah  saudara-saudaraku. Setelah tujuh bulan dari wafatnya ayahku ibuku 

meninggal, dan jenazahnya dibawa dan dikuburkan di Najef (Irak).

 

Tidak lama kemudian aku bermimpi: seolah-olah aku duduk di rumahku.  Ketika ayahku masuk, aku berdiri dan mengucapkan salam, kemudian ia 

duduk di depanku, dan menyapaku dengan lemah lembut, dan aku tahu   bahwa ia telah meninggal. Lalu aku bertanya: Bukankah ayah meninggal di Isfahan?

Ayahku menjawab: Ya, tapi mereka memindahkan aku ke Najef, dan aku  sekarang tinggal di sana. Aku bertanya: Ibu di dekat ayah?

Ayahku menjawab: Tidak

Aku bertanya: Ibu tidak tinggal di Najef?

Ayahku menjawab: Ya, tapi di tempat yang lain.

Aku baru tahu bahwa tempat tinggal orang yang alim lebih mulia dari   orang yang tidak alim. Kemudian aku bertanya tentang keadaannya.

Ayahku menjawab: Dahulu aku kuburku kesempitan, dan sekarang  Alhamdulillah dalam keadaan yang baik, kesempitan dan himpitan itu  menghilang dariku.

 

Aku heran atas kejadian itu, dan dengan heran aku bertanya: Ayah dalam  kesempitan?

Ayahku menjawab: Ya, karena Haji Ridha bin A`a Babasy Syahir  menagihku, dan itu yang menyebabkan keburukan keadaanku. Aku bertambah heran, lalu aku terbangun dari tidurku dalam keadaan   takut dan heran. Kemudian aku mengirim surat kepada saudaraku tentang   wasiat ayahku dalam mimpiku. Dalam suratku aku bertanya, apakah ayah 

punya hutang kepada orang tersebut, atau tidak? Ia membalas suratku,   dalam suratnya saudaraku mengatakan: Aku sudah membuka buku harian 

ayah, tapi aku tidak menemukan nama orang tersebut; lalu aku mengirim  surat lagi untuk kedua kalinya, agar menanyakan langsung kepada orang 

yang bersangkutan. Lalu saudaraku menjawab suratku: setelah aku tanya pada orang tersebut ternyata benar ayahku pernah berutang kepadanya.

 

Orang tersebut berkata: Ya, ayahmu punya hutang kepadaku sebesar  delapan belas Tuman (mata uang Iran), dan tidak ada seorang pun yang 

tahu kecuali Allah. Setelah wafatnya aku pernah bertanya kepadamu:  apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu, kamu menjawab tidak 

ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak, karena aku pernah meminjamkan  uang padanya tanpa bukti secarik kertas, dan aku yakin ia tidak 

mencatat dalam buku hariannya, kemudian saat itu aku pulang dengan  hati yang kecewa. Kemudian saudaraku berkata kepadanya bahwa aku bermimpi hal itu, dan 

akan membayarkan hutang ayahku. Kemudian orang tersebut berkata:   Karena berita dari saudaramu ini, sekarang hutangnya aku relakan dan 

aku ikhlaskan.

 

Kisah ini dikutip oleh Syeikh An-Nuri (ra) dalam kitabnya Dar As-Salam 2: 164.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar