Kamis, 04 Maret 2010

Memaknai Maulid Nabi

Bagaimanakah cara mencintai Rasulullah SAW? Ada banyak hal dilakukan umat Islam untuk menandai kecintaan pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah dengan menggelar peringatan hari lahir beliau, atau yang lazim disebut Peringatan Maulid Nabi.

Peringatan Maulid Nabi itulah yang hari-hari ini diselenggarakan umat Islam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di negara kita, Peringatan Maulid Nabi sudah menjadi tradisi masyarakat. Dari mulai tingkat RT, kelurahan, majelis taklim, masjid, perkantoran, hingga Istana Negara. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat, seperti keraton, Maulid Nabi diperingati dengan acara-acara unik, misalnya Grebeg Maulid, arak-arakan tumpeng, keliling kota dengan dengan obor, dan sebagainya.

Acara-acara Peringatan Maulid Nabi seperti itu tentu saja baik. Apalagi yang diselenggarakan dengan menampilkan para ustad, kiai, juru dakwah/dai, akademisi, tokoh masyarakat, dan pejabat negara, untuk mengupas berbagai sisi dari kehidupan Rasulullah yang sarat dengan keteladanan. Namun, ada hal-hal yang perlu kita renungkan bersama ketika hari-hari ini kita menyelenggarakan Peringatan Maulid Nabi. Yaitu, jangan sampai acara-acara Peringatan Maulid Nabi itu hanya sebatas tradisi, hanya sebagai kebiasaan tahunan yang tak ber-ruh dan tak berjiwa.

Kecintaan pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW tidak boleh hanya cukup dengan menggelar peringatan hari lahir beliau. Bahkan juga tidak cukup hanya dengan pembelaan `mati-matian' terhadap Rasulullah SAW saat beliau dicaci, dihina, dan direndahkan oleh kelompok-kelompok tetentu, terutama masyarakat Barat, seperti yang telah terjadi beberapa waktu lalu.

Sekali lagi, Peringatan Maulid Nabi adalah baik dan terpuji. Bahkan harus kita jaga dan tradisikan. Juga pembelaan terhadap Nabi Muhammad SAW adalah wajib mutlak ketika beliau diremehkan, direndahkan, dan dihinakan. Namun, kecintaan pada Rasulullah SAW itu tidak boleh hanya berhenti di sini. Ada hal penting dan bahkan sangat penting ketika kita mencintai Rasulullah SAW. Yakni, bagaimana keteladanan beliau itu bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Dalam hal pengelolaan pemerintah/negara misalnya, bukankah Rasulullah SAW sudah sangat jelas memerintahkan penegakan hukum tanpa pandang bulu? Sampai-sampai beliau menyatakan, `'Seandainya Fatimah anakku mencuri, maka akan saya potong tangannya.'' Beliau juga mengatakan bahwa orang yang menyuap dan disuap sama sama di neraka.

Begitu juga dengan kemiskinan, kebodohan, kemalasan, pengangguran, dan ketertinggalan yang menjadi `musuh utama' umat Islam di negeri ini. Bukankah di dalam Islam sudah dinyatakan bahwa Muslim yang kuat lebih baik dari Muslim yang lemah, tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta), kefakiran (kemiskinan) hampir saja menjadikan seseorang sebagai kufur (kafir)? Juga perintah untuk menuntut ilmu, berzakat, berinfak, dan bersedekah, dan memberi salam ke kanan dan ke kiri pada setiap kita mengakhiri shalat. Semua itu menunjukkan ajaran Islam yang unggul dan sekaligus keteladanan Rasulullah SAW.

Apa yang disebutkan tadi tentu hanya sebagian dari keteladanan junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang hari-hari ini kita peringati hari kelahirannya. Yang menjadi keprihatinan kita, mengapa Islam yang mempunyai ajaran sangat unggul sebagaimana ada pada diri Rasulullah SAW, tapi umatnya terus terpuruk dalam kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan? Jawabnya, barangkali karena kita belum meneladani Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari meskipun Maulid Nabi kita peringati setiap tahun.

Sumber : Ustad Jefri Al Bukhori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar