Rabu, 30 Januari 2013

Mbah Pawiro

Jogja, 1985

Aku ingat sosok bungkuk berambut putih itu, jalannya cepat dengan kain jarik yang membalut tubuhnya, namanya Mbah Pawiro, orang-orang di desaku memanggilnya mbah Ro untuk menyingkat namanya. Di usianya yang sudah sepuh mbah Ro tidak pernah diam, dia masih sering keliling desa, ke sawah dan bertandang ke rumah tetangga. Rumahnya di barat desa sangat sederhana, hanya bangunan bambu dengan dinding dari gedeg (bambu anyaman) di semua sisinya. Kata ibuku mbah Ro putri ini dulu waktu muda adalah ledek (penari) yang  berkeliling dari desa kedesa, sampai akhirnya menikah dengan mbah Pawiro Kakung dan tinggal di desa ini. Mereka tidak memiliki anak, dimasa tuanya mbah Ro merawat 3 orang anak kecil yang ditinggal mati ibunya.. mereka piatu, sementara ayahnya jadi duda yang tidak bekerja. Tiga anak inilah yang tiap hari dimandikan, diberi makan oleh mbah Ro.

Hari menjelang magrib, Bapakku yang tugas jadi tentara di Jakarta hari ini pulang ke desa, bapak jadi orang yang dihormati di desa waktu itu, tentara yang pulang dengan seragam hijaunya, para tetangga sering menyapa jika bapak pulang... “ooo Pak Ratno sampun kundur..”

Mbak Pawiro datang kerumah sore itu, dengan badan bungkuknya dia bertemu dengan bapak di ruang tamu, aku mendengar percakapan mereka.

“duuuh Pak Ratnooo.., kulo nyuwun tulung nek wonten beras kagem putu-putu kulo, niki sek esuk dereng kelebon sekul...” mbah Pawiro nembung beras untuk tiga anak yang diasuhnya itu. Suaranya mengayun menghiba mohon belas kasihan, Bapak memberi beberapa lembar uang ribuan yang cukup untuk membeli beberapa liter beras waktu itu, Mbah Pawiro menghujani dengan ucapan terimakasih yang tercecer-cecer hingga ke jalan...

Begitulah wanita bekas ledek itu menutup hari tuanya, merawat anak-anak tanpa orang tua yang kelaparan, hingga akhir hidupnya, bahkan dia rela menjadi peminta-minta agar perut anak-anak itu tidak kelaparan dan tidur dengan perut penuh rintihan....

Mbah Pawiro meninggal hari itu.. segenap tetangga mengantar dengan hikmat hingga ke pemakaman, anak-anak tanpa ibu yang di rawatnya kini kehilangan simbah yang melindunginya.

 

Hari berlalu, bulan, tahun berganti...

Hari ini Mbah Pawiro kakung meninggal dunia, 7 tahun sudah sejak Mbah Pawiro putri menghadap Illahi, warga sepakat simbah kakung dimakamkan bersebelahan dengan simbah Putri. Warga yang bertugas menggali kubur mulai mencangkul tanah disamping makam itu. Satu-persatu tanah dalam ember diangkat keatas, hingga kedalaman dua meter mereka melihat sesuatu yang ajaib di depan mata mereka. Kain kafan yang membungkus jenazah Mbah Pawiro putri masih putih bersih, utuh, tidak rusak walaupun tujuh tahun sudah berlalu, walaupun terpendam di dalam tanah bersama ulat, cacing dan jutaan makhluk pengurai.. Para warga yang terkesima dengan pemandangan itu lalu merapikan sisi kain kafan yang menonjol, memberi ruang yang rapi untuk jenazah mbah Pawiro kakung yang akan dimakamkan sore nanti...

Cerita itu menjadi bahan pembicaraan turun temurun di desaku, hingga ibuku bercerita kepadaku sambil kami ngobrol di meja makan minggu lalu..

 

 

Dikutip dari blog tetangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar